JAKARTA, WB-Pakar hukum pidana Chairul Huda menilai terdakwa kasus proyek Hambalang Anas Urbaningrum tidak bisa dikenakan pasal Tindak Pidana Korupsi. Karena, mantan Ketua Partai Demokrat itu pada saat diduga menerima gratifikasi belum menjabat sebagai anggotaDPR atau sebagai penyelengara negara.
Menurutnya orang yang bisa dijerat dengan pasal tindak pidana suap harus berstatus pegawai negeri sipil dan/atau pejabat negara. Karena, sesuai dengan undang-undang seseorang tersebut dikhawatirkan akan menyalahgunakan kewenanganya untuk tindakan yang melanggar hukum.
“Tindakan itu akan membuat yang bersangkutan menyalahi wewenangnya,” ujar Chairul ketika berbicara sebagai saksi ahli dalam sidang kasus Hambalang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, 4 September 2014.
Tindak pidana suap, kata Chairul baru bisa dikatakan sah jika si penerima tertangkap basah menerima pemberian tersebut. Sebab, dengan begitu, si penerima menyalahi kewajibannya sebagai pegawai negeri dan penyelenggara negara.
“Ini tertuang pada Pasal 12a dan b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi),” terangnya
Sebaliknya, menurut Chairul Perjanjian atau pemberian uang untuk suatu tujuan tertentu dianggap sah-sah saja jika tidak melibatkan pegawai negeri dan/atau penyelenggara negara. “Itu sebabnya saya tidak mau jadi penyelenggara negara,” ujarnya.
Diketahui, dalam surat dakwaan Anas disebutkan bahwa ia diduga menerima gratifikasi sebuah mobil Harrier dengan nomor polisi B 15 AUD. Mobil seharga Rp 670 juta rupiah itu diterima Anas pada bulan September 2009.
Sementara berdasarkan keterangan Sekretaris Jenderal DPR Winantuningtias saat bersaksi dalam persidangan sebelumnya, mengatakan Anas baru menjabat sebagai anggota DPR RI sejak 1 Oktober 2009.[]