JAKARTA, WB – Sidang kasus dugaan korupsi proyek pembangunan sport center Hambalang dengan terdakwa Anas Urbaningrum kembali digelar di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (24/7/2014).
Sidang kali ini Jaksa KPK kembali menghadirkan saksi-saksi untuk memberikan keterangan terkait pelaksanaan Kongres Partai Demokrat yang disebut mendapatkan aliran dana dari proyek Hambalang, salah satu saksi yang dipanggil adalah politisi Demokrat Ruhut Sitompul.
“Iya jadi nanti saya akan jelaskan suasana kongres sesuai dengan ketika diminta keterangan menjadi saksi,” kata Ruhut di Gedung Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (24/7/2014).
Ruhut sendiri pernah masuk menjadi tim sukses Anas, saat dirinya maju mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Demokrat di kongres tersebut. Namun, sayangnya Ruhut mengaku tidak tahu siapa tim inti yang berada di belakang Anas.
“Saya jujur saya timses Anas, tapi saya gak tahu ring 1,2,3 nya,”kata Ruhut.
Sama halnya mengenai dugaan aliran dana Hambalang ke Kongres Demokrat. Ruhut mengaku tidak tahu secara pasti. Selama ini ia hanya mendengar cerita, dan pemberitaan dari media.
“Waktu diperiksa, ibarat bau, aku mencium tapi aku gak lihat mendengar iya,” ujar Ruhut.
Selain Ruhut, Jaksa juga akan memanggil dua politisi Demokrat lainya yakni, Saan Mustopa dan Mirwan Amir. Keduanya juga akan dimintai keterangan terkait pelaksaan Kongres Demokrat.
Adapun dalam perkara ini Jaksa KPK menuduh Anas menerima hadiah atau gratifikasi berupa satu unit mobil Toyota Harrier B 15 AUD senilai Rp 670 juta dan satu unit mobil Toyota Vellfire B 69 AUD senilai Rp 735 juta. Bekas Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) itu juga didakwa menerima uang sebesar Rp 116,525 miliar dan US$ 5,261 juta.
Anas juga dituduh menerima fasilitas survei pemenangannya secara gratis dari PT Lingkaran Survei Indonesia (LSI) sebesar Rp 478,632 juta. Anas juga didakwa melakukan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar sebesar Rp 20,8 miliar dan Rp 3 miliar.
Dalam dakwaan Jaksa juga disebutkan bahwa Anas berkeinginan untuk menjadi Presiden RI ketika keluar dari KPU pada 2005. Demi tujuan itu, Anas menghimpun dana sebanyak-banyaknya bersama mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dengan mendirikan Grup Permai untuk menangani sejumlah proyek negara yang menggunakan dana dari ABPN.
Atas perbuatannya, Anas didakwa dengan Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHPidana.[]