JAKARTA, WB – Indonesia harus berhati-hati terhadap seluruh potensi faktor non militer yang dapat mencederai ketahanan nasional. Kemerdekaan yang telah diraih akan menjadi sia-sia jika kita tidak mampu membangun kedaulatan negara.
Hal itu disampaikan Ketua FKPPI sekaligus Ketua Aliansi Kebangsaan, dan Pembina YSNB Pontjo Sutowo dalam Diskusi Panel Serial (DPS) 2017-2018 dengan tema ATHG Dari Luar Negeri, Minggu (3//8/2018) di JCC, Senayan, Jakarta.
Selain Pontjo Sutowo, hadir sebagai narasumber Prof. Firmansyah, SE, MM, DEA, PhD, Dr. Dirgo D. Purbo, Ketua Panitia Bersama DPS Iman Sunario, dan Prof. Dr. La Ode Kamaludin yang bertindak sebagai moderator DPS.
Uni Soviet pernah menjadi negara besar di dunia dari sisi militer, namun runtuh karena faktor non militer. Kondisi ini kiranya harus menjadi perhatian seluruh anak bangsa. Agar bangsa ini tidak mengalami kejadian sejarah yang sama.
“Berkaca pada hal tersebut, Indonesia harus berhati-hati terhadap seluruh potensi faktor non militer yang dapat mencederai ketahanan nasional. Kemerdekaan yang telah diraih akan menjadi sia-sia jika kita tidak mampu membangun kedaulatan negara,” ujar Pontjo Sutowo.
Untuk itu, ia berharap agar kedaulatan negara yang diwujudkan dalam kedaulatan energi dan pangan misalnya, dapat terwujud. Tidak mengalami ketergantungan dengan negara lain.
“Ketergantungan dengan negara lain atas kedaulatan negara yang harus dimiliki, dapat menjadi faktor non militer yang dapat merusak sebuah negara. Hal ini yang harus dihindari,” kata Pontjo Sutowo.
Sementara itu menurut Firmanzah kondisi ekonomi Indonesia pada saat ini sedang dalam kondisi tidak bagus. Tahun-tahun politik yang seharusnya mampu menjadi gerbong yang mampu menarik ekonomi ke arah pertumbuhan positif tidak pernah terjadi.
Ekonomi Indonesia bahkan telah larut dengan kondisi ekonomi global. Setiap kenaikan dan penurunan kondisi ekonomi global akan segera berpengaruh bagi Indonesia. Semua itu terjadi karena hutang Indonesia dalam bentuk mata uang asing sangat besar. Sekitar 45 % hutang Indonesia dalam mata uang asing. Lebih besar dari negara lain seperti Malaysia, India dan sebagainya. Banyaknya hutang dalam mata uang asing yang mendekati Indonesia adalah Filipina.
Semua itu menyebabkan ketahanan ekonomi Indonesia sangat rentan. Dengan munculnya Revolusi Industri 4.0, ketahanan ekonomi Indonesia diperkirakan akan semakin sulit bertahan. Jika New Zealand saja sekitar 885.000 (46%) tenaga kerjanya diperkirakan akan menganggur dari sebab Revolusi Industri 4.0, maka bagaimana dengan Indonesia yang saat ini masih memiliki banyak industri padat karya.
“Revolusi Industri 4.0 memiliki plus dan minus bagi sebuah bangsa. Sebab Revolusi Industri 4.0 hanya untuk negara kaya dan modern. Jika bukan itu, maka dapat dikatakan ia hanya akan menjadi sebuah ancaman. Untuk itu Indonesia kini memanggil semua anak bangsa untuk beraksi mengatasi hal tersebut secara bersama dan terintegrasi, agar ketahanan bangsa khususnya ekonomi dapat teratasi”, kata Firmanzah.
Di tempat yang sama, Dirgo D. Purbo menyatakan jika potensi sumber energi Indonesia yang demikian besar seperti minyak, gas alam, batubara dan berbagai raw material lainnya, pada saat ini sayangnya belum dimaksimalkan.
Padahal menurut Dirgo D. Purbo, konstelasi geopolitik dunia pada abad 21 menempatkan faktor energi menjadi agenda utama kepentingan nasional bagi semua negara-negara maju yang tidak jauh berbeda seperti pada abad 20.
Jika hal tersebut terus berlanjut, dapat dikatakan akan tercipta instabilitas politik yang berimbas pada penurunan ketahanan bangsa. Untuk itu, sudah saatnya Indonesia memperkuat Energy Security dan memperkuat purchasing power pority.
Agar ketahanan nasional Indonesia dapat berjalan lebih baik, Dirgo. D. Purbo menyarankan agar pemerintah Indonesia memperkuat Energy Security dan purchasing power pority serta melaksanakan penjabaran penanganan bidang migas seperti termaktub dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 secara tepat.[]