JAKARTA, WB – Rencana koalisi merah putih untuk merubah sistem pemilihan kepala daerah secara langsung dengan pemilihan oleh DPR, mendapat protes dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang merupakan salah satu partai pendukung Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Menurut Ketua DPP Partai PKB Marwan Djafar, menilai pemilihan kepala daerah oleh DPR dianggap sebagai kemunduran. Sistem ini tidak jauh beda dengan sistem yang berlaku pada jaman Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto.
“Jadi kami memilih langsung saja. Kalau dipilih DPRD akan merusak partisipasi rakyat. Ini namanya mundur ke belekang,” ujarnya, Senin (8/9/2014).
Marwan merasa heran, kenapa partai politik di DPR yang dulu gembar-gembor menolak gaya kepemimpinan Orde Baru, sekarang justru mati-matian ingin menghidupkan kembali sistem tersebut dengan menghendaki pengangkatan kepala daerah dilakukan oleh DPR atau DPRD.
“Kalau begini ini namanya hak rakyat dihilangkan,” katanya.
Ia menyadari semua proses pemilihan kepala daerah pasti menemui persoalan atau masalah. Tapi menurutnya hal itu masih bisa diperbaiki. Oleh sebab itu bagi Marwan tidak ada alasan bagi partai koalisi merah putih untuk merubah sistem yang ada saat ini.
Wacana pemilihan kepada daerah oleh DPR pertama kali memang dimunculkan oleh anggota partai koalisi merah putih, seperti Partai Golkar, Gerindra dan PAN. Mereka menganggap pemilihan pemilihan seperti saat ini hanya melahirkan politik uang, menghabiskan anggaran negara, serta konflik di masyarakat.
Oleh sebab itu, partai koalisi merah putih mencoba mengesankan undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Dimana dalam undan-undang ini mengharuskan pimpinan dan alat kelengkapan DPR dan DPRD dipilih melalui sistem paket. Artinya jika dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi maka rencana pemilihan kepala daerah oleh DPR berhasil.
Jika undang-undang itu dikabulkan bisa menjadi keuntungan yang besar bagi koalisi merah putih, karena koalisi ini menguasai separoh lebih kursi di DPR, yakni dengan 353 kursi. Partai Gerindra 73, ditambah lima parpol lainnya, yakni Partai Golkar 91 kursi, Partai Amanat Nasional 49 kursi, Partai Persatuan Pembangunan 39 kursi, Partai Keadilan Sejahtera 40 kursi, dan Partai Demokrat 61 kursi.
Sementara, koalisi Jokowi hanya memperoleh 207 dari 560 kursi di DPR. Ada empat partai pendukung, yakni PDI Perjuangan dengan 109 kursi, Partai NasDem 35 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa 47 kursi, dan Partai Hanura 16 kursi.[]