JAKARTA, WB – Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahuddin menilai bahwa, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melanggar konstitusi jika akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan Undang-Undang Pilkada yang baru saja disahkan oleh DPR.
Pasalnya kata Said, sesuai aturan yang berlaku, pemerintah hanya dapat mengeluarkan Perppu jika keadaan memaksa dan darurat.
“Sekarang kalau dilihat apa urgensinya mengeluarkan Perppu, di mana keadaan memaksa dan darurat sehingga keluar Perpu. Indikatornya apa,” ujarnya Rabu (1/9/2014).
Selain rencana menerbitkan Perppu, Presiden SBY kata Said, juga dinilai melanggar konstitusi jika memilih tidak menandatangani UU Pilkada atau jika lewat Partai Demokrat akhirnya mengajukan pengujian undang-undang (PUU) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Pertimbangan tidak tandatangan, maju ke MK atau mengeluarkan Perpu, itu semata karena perasaan dia (Presiden SBY,red) terganggu oleh kecaman-kecaman di media sosial. Jadi keliru jika SBY hendak batalkan UU Pilkada. Beliau kan sudah kadung menyetujui RUU Pilkada menjadi UU yang ditandai dengan adanya pengesahan secara materil RUU tersebut menjadi UU dalam paripurna DPR,” katanya.
Secara sederhana, Said menuturkan bahwa dalam konstitusi UUD 1945 Pasal 20 ayat 5, disebutkan undang-undang dibahas bersama dan mendapat persetujuan bersama dari pemerintah dan DPR. Artinya, jika telah terpenuhi, maka wajib diundangkan dengan segera diberi nomor dan dicatat dalam lembaran negara oleh Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (Kemenkumham).
“Waktu di paripurna kan tidak ada penolakan dari Gamawan (sebagai wakil pemerintah). Jadi dengan demikian artinya beliau setuju. Nah kalau Presiden dalam waktu 30 hari sejak UU disetujui tidak mau tandatangan, RUU itu sah menjadi UU dan wajib diundangkan,” tandasnya.[]