JAKARTA, WB – Pengamat hukum tata negara Masnur Marzuki menilai jika sistem pemerintahan Indonesia masih tergantung pada keputusan legislatif. Padahal di sisi lain, Indonesia menganut sistem presidensial.
“Indonesia mempraktekan sistem parlementer karena presiden dan eksekutif lainnya bergantung pada legislatif atau DPR,” kata Masnur di Hotel Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (18/12/2014).
Buktinya, di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berencana menaikkan harga BBM pada 2012 silam terlihat sangat tersandera dengan kekuatan DPR. Sama seperti dengan pemerintahan Jokowi yang bergantung besar pada dua kekuatan di DPR yaitu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Hal inilah yang membuktikan jelas jika kekuasaan presiden RI mudah dikalahkan dengan kekuatan di parlemen.
“Jadi negara ini tidak jelas presidensial atau parlementer. Saya melihat Indonesia itu cenderung mengambil sistem tengah, tidak ke barat dan tidak ke timur,” terangnya.
Meski parlemen di era “kabinet kerja” dikuasai oleh KMP, namun Masnur yakin kalau keberadaan KMP di DPR sangat diperlukan untuk mengawasi pemerintah yang tidak pro rakyat. Apalagi saat ini KMP menjadi sejarah baru dimana oposisi lebih besar dibanding koalisi pemerintah.
“Baru kali ini oposisi lebih besar dibanding pemerintah. Di jaman Soeharto, eksekutif yang dominan, jaman Mega dan SBY legislatif yang dominan,” tuturnya.
Lebih lanjut, walaupun pada kenyataannya Indonesia malah menerapkan sistem pemerintah parlementer dan ada perubahan kekuatan pada pemerintahan, namun hal itulah yang membuat lahan “korupsi” malah pindah tangan.
“Kalau dulu jaman Soeharto eksekutifnya yang banyak korupsi, sekarang pindah legislatifnya yang banyak korupsi,” pungkasnya.[]