JAKARTA, WB – Mantan terpidana kasus suap cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004 (DGSBI 2004), di Komisi Pemberantasan Korupsi, Nunun Nurbaeti menyampaikan surat terbuka untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan presiden terpilih Joko Widodo.
Surat tersebut disampaikan melalui tim kuasa hukumnya Ina Rachman, Mulyaharja, dan Diarson Lubis, di Jakarta, Selasa (2/9/2014), yang bersisi tentang kritikan atas Peraturan Pemerintah (PP) nomor 99 Tahun 2012, mengenai pembebasan bersyarat kepada narapidana koruptor.
Menurut Nunun dalam suratnya, PP tersebut tidak sesuai dengan implementasinya dilapangan dimana dirinya yang terkena imbas dari PP tersebut tidak mendapatkan perlakuan hukum yang adil saat menjalani masa penahananya. Sedangkan, untuk terpidana lain yakni Siti Nurhayti Murdaya justru mendapatkan keringan hukuman, padahal kasus hukumnya sama.
“Saya menulis surat terbuka ini semata-mata bukan untuk meminta pertanggung jawaban Pemerintah maupun para pejabatnya, lebih-lebih untuk menyulitkan bagi para Warga Binaan yang masih berada di dalam lembaga-lembaga permasyarakatan,” ujar Ina saat membacakan surat terbuka Nunun, di depan para Wartawan, di Jakarta, Selasa (2/9/2014).
“Tetapi dari hati yang sangat bersih ingin memberikan suatu masukan kepada Presiden SBY serta para pembantunya dan presiden terpilih Jokowi serta para pembantunya agar di masa yang akan datang, tidak mudah untuk membuat suatu peraturan yang dapat menimbulkan ketidak adilan maupun ketidak samaan dalam penerapan suatu hukum yang dapat meyakinkan hati orang yang merasakanya,” sambungnya.
Pihak Nunun merasa pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM sudah melakukan diskriminasi terhadap warga negaranya di depan hukum. Dimana, dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 1 ayat 13 disebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Pasal tersebut menegaskan bahwa orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama dihadapan hukum.
Namun, kata Nunun peraturan tersebut hanya sebatas wacana, dan tidak berlaku bagi dirinya. Dalam kasus Hartati, ia menilai, pemberian bersyarat yang diberikan kepadanya jelas bertentangan dengan PP Nomor 99 tahun 2012 tentang perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan permasyarakatan.
PP 99 itu berisi pemberian remisi, asimilasi dan pembebasan bersyarat bagi pelaku tindak pidana terorisme, narkotik dan prekursor narkotik, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara kejahatan HAM yang berat serta kejahatan transasional terorganisasi lainnya yang kemudian harus diperketat syarat dan tata caranya untuk memenuhi keadilan masyarakat.
Masih Lemah
Jika alasan, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin membebaskan Hartati Murdaya karena sudah menjalani masa hukuman selama 2/3 masa penahanan dan denda Rp 150 juta. Nunun pun mengaku telah melakukan lebih dari 2/3 masa tahanan dan juga membayar denda Rp 150 juta.
“Bahkan saya menjalani masa hukuman penuh selama 30 bulan. Sementara Hartati hanya 22 bulan tidak sampai 2/3,” katanya.
Kemudian selain itu, berdasarkan surat edaran Menteri Kemenkumham Nomor M.HH-04.PK.01.05.06 yang dikeluarkan pada 12 Juli 2013 disebutkan, bahwa PP Nomor 99 Tahun 2012 diberlakukan bagi narapidana yang putusan pidananya telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht) setelah 12 November 2012.
Sementara Nunun dan Hartati keduanya sudah sama-sama incracht setelah tanggal 12 November 2012. Diketahui, Nunun dinyatakan incracht pada tanggal 21 November 2012. Sedangkan Hartati 24 April 2013. Bedanya, Hartati diperlakukan sesuai dengan PP 99 sementara Nunun tidak.
Ini artinya, kata Ina, ada perbedaan yang jauh antara dirinya dengan Hartati dalam melihat implementasi PP 99 tersebut. Jika dihitung ada diskriminasi terhadap Nunun selama delapan bulan penahanan. “Apakah ini yang selalu kita katakan adanya kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum,” ucap Ina.
Sebagai kuasa hukum, Ina berpendapat bahwa sebenarnya PP 99 tahun 2012 tidak ada masalah yang signifikan. Hanya saja, peraturan tersebut jadi lemah jika tidak diimplementasikan sesuai dengan aturan yang ada. Ina khawatir, jika dibiarkan terus menerus akan banyak kasus seperti Nunun dimasa yang akan datang.
”Kelemahannya, bukan bertentangan dengan PP yang dulu, PP-nya sudah bagus, yang bermasalah, Implementasinya, surat edaranya sudah ada, jadi tidak tebang pilih. Kalau ini dibiarkan saya takut ada Nunun-Nunun berikutnya,” kata Ina.
Padahal kata Ina, apabila dibandingkan dengan kasus Hartati, kasus yang menjerat Nunun sebenarnya jauh lebih ringan dibanding dengan dengan kasus yang menjerat Hartati. “Nunun kan hanya menolong teman (Miranda Goeltom), sedangkan Hartati suapnya Rp 3 miliar kepada Bupati Buol,” terangnya.
Untuk itu, Ina bersama tim kuasa hukum Nunun berencana akan mengirimkan surat terbuka itu kepada Presiden SBY dan juga Presiden terpilih Jokowi. Yang jelas kata ini, surat ini sifatnya terbuka agar bisa dibaca oleh semua orang, dan mereka tahu mengenai lemahnya penegakan hukum di Indonesia.
Diakhir surat terbuka tersebut, Nunun kembali menegaskan dirinya tidak ada maksud meminta pertanggung jawaban pemerintah maupun para pejabat, atau memojokkan seseorang maupun lembaga. Tapi, ia ingin apa yang ia rasakan tidak terjadi pada orang lain. Ia berharap kesamaan dan kesetaraan hukum tetap ditegakan.[]