JAKARTA, WB – Meski ada desakan dari segelintir politisi agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencabut pencegahan terhadap Ketua DPR Setya Novanto. Namun lembaga anti rasuah itu tetap pada keputusannya mencegah politisi Partai Golkar itu ke luar negeri untuk mempermudah proses penyelidikan kasus mega korupsi proyek e-KTP.
Novanto yang namanya kerap dikait-kaitkan oleh Andi Agustinus alias Andi Narogong diduga menjadi juru suap kasus megaproyek e-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun ini dicegah ke luar negeri oleh Dirjen Imigrasi atas permintaan penyidik KPK.
Pencegahan dilakukan karena Novanto, diduga terkait dengan kasus korupsi tersebut. Alasan KPK tidak mencabut pencegahan tersebut karena menghargai undang-undang tentang keimigrasian yang memberlakukakan surat pencegahan yang dikeluarkan berlaku selama enam bulan.
“KPK tetap akan jalan terus termasuk pihak imigrasi tentu juga sedang menjalankan undang-undang keimigrasian,” kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, di Gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (12/4/2017).
Pencegahan tersebut sudah sesuai Pasal 12 ayat (1) huruf b UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang UU KPK yang menyatakan dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan KPK berwenang memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri. Selain itu, UU KPK bersifat khusus (lex spesialis), sehingga alasan penolakan dari DPR menjadi tak logis.
Dua hari setelah Imigrasi melakukan pencegahan, Wakil Ketua Badan Musyarawah DPR, Fahri Hamzah menyatakan akan memanggil Presiden Joko Widodo untuk meminta pencabutan status cegah ke luar negeri kepada Novanto.
Alasanya, pencegahan Setnov menghambat kinerjanya sebagai ketua DPR yang salah satu fungsinya adalah diplomasi yang tidak bisa diwakilkan.
Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua DPR bidang politik dan keamanan Fadli Zon yang meminta Presiden sebagai atasan dari kemenkum HAM untuk membatalkan pencegahan kepada Novanto karena dianggap bertentangan dengan konstitusi dan bertentangan dengan undang-undang tentang keimigrasian.
Sementara itu, Dirjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Irjen Pol Ronny Franky Sompie mengaku tidak mau berpolemik soal dasar pencekalan Novanto.
“Kewenangan mencekal (cegah tangkal, red) memang imigrasi atas nama menteri, tapi permintaan mencekal, tanggung jawab meminta pencekalan, apa alasan dan sebagainya ada di penyidik, pimpinan KPK,” kata Ronny, Rabu (12/4/2017).
Ronny mengatakan, dirinya juga tidak mau disalahkan jika terjadi dampak hukum bila tidak mengabulkan permohonan cekal. Kecuali, permohonan tidak akan dilayani bila tidak ada surat menyurat sebagai syarat administrasinya.
“Kalau itu (permintaan cekal, red) penting, terus kami tidak cekal, terus ada akibatnya, yang menanggung siapa? Ada dampak hukumnya. Kan yang menanggung yang melakukan pencekalan,” tegasnya.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Andi Narogong diduga menjadi juru suap kasus megaproyek e-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun. Suap diberikan ke sejumlah anggota DPR dan pejabat Kemendagri pada 2011-2013, saat proyek e-KTP dibahas.
Dalam surat dakwaan KPK, Andi disebut bekerja sama dengan Novanto dan mendapat jatah uang Rp 574 miliar. Namun, Novanto telah tegas membantah terlibat kasus e-KTP. []