JAKARTA, WB – Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara Komisi III DPR dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Pansel Pimpinan KPK berlangsung tanpa kehadiran Menkum HAM. Laoly tidak bisa hadir dengan alasan ada rapat terbatas dengan Presiden
RDPU sempat diskors Ketua Komisi III Azis Syamsuddin untuk menunggu kehadiran Menteri Laoly. Namun pejabat yang ditunggu tidak juga hadir, akhirnya Azis Syamsuddin mencabut skors dan melanjutkan acara tanpa ketidakhadiran Laoly.
Rapat hari ini menggagendakan mendengar masukan terkait pemilihan calon pimpinan KPK. Dari Pansel Pimpinan KPK yang hadir di antaranya adalah Amir Syamsuddin, Imam Prasodjo, dan Komaruddin Hidayat. Rapat dihadiri 11 anggota DPR yang berasal dari KMP plus satu anggota dari Fraksi NasDem.
Menurut Azis, meski melalui suratnya Menteri Laoly meminta agar rapat ini diagendakan kembali, namun kehadirannya dapat diabaikan karena agenda pemilihan pimpinan KPK sudah mendesak.
“Pemilihan pimpinan KPK ini mendesak, jadi bisa kita agendakan kembali atau kita abaikan kedatangan saudara menteri karena sudah ada Pak Amir (mantan Menkum HAM) di sini,” ujar Azis.
Ketidakhadiran Menkum HAM menjadi menteri pertama yang menolak rapat dengan DPR setelah beredar surat edaran dari Presiden Jokowi kepada jajarannya untuk menunda semua rapat dengan DPR.
Banyak pihak menduga, ketidak hadiran Laoly itu terkait Surat Edaran bernomor SE-12/Seskab/XI/2014 itu bertanggal 4 November 2014, yang beredar di kalangan jurnalis yang berisi `larangan` bertemu DPR.
Surat Edaran dari sekretariat kabinet tersebut berlaku untuk semua menteri dan pejabat setingkat menteri. Surat Edaran yang ditandatangani Seskab Andi Widjajanto tersebut ditujukan untuk Menteri Kabinet Kerja, Panglima TNI, Kapolri, Kepala Staf Angkatan, Kepala BIN, dan Plt Jaksa Agung.
“Bersama ini dengan hormat kami mohon kepada para Menteri, Panglima TNI, Kepala Kepolisian Negara RI, Para Kepala Staf Angkatan, Kepala Badan Intelijen Negara, dan Plt Jaksa Agung untuk menunda pertemuan dengan DPR, baik dengan Pimpinan maupun Alat Kelengkapan DPR guna memberikan kesempatan kepada DPR melakukan konsolidasi kelembagaan secara internal,” demikian penggalan isi Surat Edaran tersebut. []