JAKARTA, WB – Implementasi konsep tol laut belum berjalan sebagaimana konsep awal yang dijabarkan di Rencana Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) oleh BAPPENAS. Selain itu, konsep tol laut juga bertentangan dengan adanya konsep hinterland foreland tentang konsep pelayaran yang membuat kapal asing tidak dapat masuk ke perairan Indonesia kecuali hanya dari pelabuhan hubungan internasional seperti Bitung dan Kuala Tanjung.
Demikian rangkuman dari pemaparan tiga pembicara: Burhanudin Syah (Pelindo II), Ronald Apriliyanto Halim (Kandidat Doktor Transportation and Logistics TU Delft), dan Hafida Fahmiasari (mahasiswa master Transportation, Infrastructure, and Logistics TU Delft) yang disampaikan dalam diskusi Lingkar Maritim bertema “Catatan Kritis Implementasi Tol Laut,” Sabtu (7/3/2016).
Lingkar Maritim adalah forum baru dari para mahasiswa dan alumni PPI Delft yang bertujuan untuk mengkritisi kebijakan transportasi laut dari pemerintah dari sisi idealisme mahasiswa. Tema Sabtu lalu adalah “Catatan Kritis Terhadap Implementasi Tol Laut”.
Seperti keterangan yang diterima redaksi Wartabuana.com pemaparan tersebut berdasarkan riset yang menggabungkan perspektif darisisi operator, riset jaringan tol laut, dan kesiapan pemerintah regional di setiap sesi. Sesi pertama menegaskan bahwa konsep tol laut bertentangan dengan adanya konsep hinterland foreland tentang konsep pelayaran yang membuat kapal asing tidak dapat masuk ke perairan Indonesia kecuali hanya dari pelabuhan hubungan internasional seperti Bitung dan Kuala Tanjung.
“Akan terjadi inefisiensi ketika kapal asing harus masuk ke Indonesia untuk menuju Jakarta via Kuala Tanjung (Medan) yang masih belum memiliki infrastruktur yang memadai dan waktu tempuh tambahan dari yang sebelumnya dapat langsung menuju Jakarta yang notabene adalah pusat industri sehingga dapat langsung diproses di Jakarta,” ujar Burhanudin yang juga alumni UNESCO-IHE Delft.
Sesi kedua menjelaskan tentang konsep tol laut yang sebelumnya disebut dengan pendulum nusantara, yang telah dibuat studinya oleh beberapa konsultan asing, tidak memiliki range nilai efisiensi yang seragam, tapi justru kontradiktif. Banyak asumsi pula yang dipakai di studi tersebut yang tidak relevan dengan keadaan real di Indonesia.
“Studi dari McKinsey sangat optimistik dengan efisiensi jaringan pendulum nusantara karena menyampingkan faktor kompetisi antar perusahaan shipping, yaitu menganggap bahwa perusahaan shipping dengan mudah dapat mengkonsolidasi muatan untuk mencapai skala ekonomi yang cukup. Padahal, hal ini tidak bisa begitu saja diwujudkan di Indonesia. Sedangkan hasil studi dari Drewry dan World Bank menunjukkan keuntungan efisiensi konsep pendulum ini hanya 15% dan 5%,” tambah Ronald. []