JAKARTA, WB – Polemik antar lembaga survei dalam merilis hasil penghitungan hasil Pilpres masih menjadi pembicaraan di berbagai media. Ada lembaga survei yang mengklaim telah memenangkan Prabowo – Hatta, ada juga yang mengklaim memenangkan Jokoqi – JK.
Pasangan Prabowo Subianto telah dimenangkan oleh empat lembaga survei yakni Lingkar Survei Nasional (LSN), Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis, (Puskaptis), Indonesia Research Center, dan Jaringan Suara Indonesia.
Sedangkan pasangan Jokowi-JK dimenangkan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Populi Center, CSIS, Litbang Kompas Indikator Politik Indonesia, RRI, Saiful Mujani Research Center dan juga Poltracking Institute.
Kedua Kubu ini bersikekeuh, menanggapi surveinya telah menggunakan cara dan metodologi yang benar sesuai dengan kaidah imilah. Meski begitu, kedua kubu tersebut sama-sama belum bisa dibenarkan sebelum menunggu pengumuman dari KPU pada 22 Juli mendatang.
Namun, menanggapi hal itu Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), berencana akan memanggil semua lembaga survei untuk mendiskusikan lagi dan mengklarifikasi hasil surveinya. Nantinya yang akan diklarifikasi berkaitan dengan metode yang dipakai sehingga kenapa hasilnya bisa berbeda.
“Kami hanya ingin mengklarifikasi dan memastikan bahwa proses keilmuannya berjalan secara benar. Supaya masyarakat dapat kejelasan karena ada dua hasil yang berbeda padahal metodenya sama,” ujar anggota Persepsi Hamdi Muluk saat dikonfirmasi, Kamis (10/7/2014).
Hamdi sendiri, tidak merasa survei yang memenangkan Jokowi paling benar. Tapi jika dilihat dari 12 lembaga survei yang telah merilis surveinya, 8 mengatakan Jokowi menang, sedangkan yang 4 mengatakan Jokowi kalah. “Ini kan bisa menjadi berbandingan,” katanya.
Oleh karenanya, Hamdi mengatakan, Persepsi perlu melakukan audit kepada seluruh lembaga survei, karena jika ada ketahuan lembaga survei yang ketahuan bohong dan memanipulasi data. Maka secara tidak langsung akan merusak kredibilitas lembaga survei Indonesia di mata luar. Selain itu, kebohongan juga akan memicu konflik di akar rumput.
“Karenanya kami harus melakukan audit. Persoalannya dimana, lalu kenapa hasilnya bisa berbeda. Padahal datanya semua dari proses pemilu yang sama,” jelasnya. []