JAKARTA, WB – Laporan Darso Arief Bakuama ke Polda Jatim tentang dugaan praktek investasi bodong dengan terlapor Ustadz Yusuf Mansur (UYM) untuk pembangunan condotel Moya Vidi dianggap mengganggu lajunya bisnis dirrect selling Paytren yang juga dikelola UYM.
“Buat saya kalo nggak salah, gak perlu gelisahlah. Sejak awal membuat laporan, saya tidak menyinggung soal Paytren, meskipun saya tahu banyak bisnis itu. Jadi memang tidak terkait Paytren, saya kira semua bisa dilihat kok di BAP saya,” ungkap Darso.
Kasus ini menjadi perhatian publik setelah Darso Arief Bakuama bersama sejumlah korban Investasi Condotel Moya Vidi melaporkannya ke Polda Jatim, dengan nomor laporan polisi LPB/742/VI/2017/UM/JATIM. Selain melibatkan koordinator investor di Surabaya, CV. Bintang Promosindo, PT. Grha Suryamas Vinandito dan Koperasi Indonesia Berjamaah.
Persoalan investasi bermasalah ini berawal dari dana Patungan Usaha Hotel Siti yang mandek. Bunga yang harus dibayarkan kepada investor jemaah makin membengkak. Terdesak akan hal itu dibukalah bisnis investasi Condotel Moya Vidi. Investasi baru itu berawal dari Suryati Suharyo, Pemilik Gurup Vidi, yang memiliki Gedung Pertemuan Graha Sarina Vidi di Sleman, DI Yogyakarta.
Suryati ingin agar di dekat gedung pertemuan itu dibangun sebuah hotel bintang tiga. Suryati lantas bekerjasama dengan Harjanto Suwardono, seorang pebisnis hotel. Guna mewujudkan Condotel Moya Vidi, digandenglah sejumlah pihak seperti PT Graha Suryamas Vinandito (GSV) berperan sebagai pengembang, dan CV Bintang Promosindo yang mengurusi teknis registrasi calon investor dan kegiatan pembangunan.
Kemudian, PT. Veritra Sentosa Internasional (VSI), membeli 200 kamar dari kondotel yang belum dibangun itu. Untuk melunasi pembelian itu, dibukalah investasi patungan usaha baru bernama investasi Condotel Moya Vidi, dimulai sejak 22 Februari 2014. Harga tiap sertifikat investasi itu dipatok minimal Rp2,7 juta. PT GSV mematok setiap kamar seharga Rp 807 juta. Karena itu, untuk membeli 1 kamar, setidaknya harus terkumpul 299 sertifikat investasi. Artinya, ada sekitar 59.800 sertifikat investor yang harus terkumpul atau setara Rp161,5 miliar.
Dalam berbisnis, PT.VSI menyediakan layanan jasa bernama Virtual Payment atau V-Pay. Lewat gawai, para penggunanya—disebut “mitra”—bisa membeli pulsa, token listrik, dan sebagainya. Untuk mendaftarnya, mitra harus membayar Rp275 ribu (belakangan, karena banyak masalah, V-Pay berubah nama menjadi PayTren). PT.VSI sebelumnya juga mengeluarkan produk MLM, Miracle.
Pada 2 Januari 2015, para investor—yang kadung membeli sertifikat kepemilikan kondotel—menerima surat dengan kop surat Koperasi Merah Putih. Isinya, PT VSI batal membeli 200 kamar Condotel Moya Vidi dari PT GSV dengan alasan dana investasi “tidak sanggup” memenuhi untuk pembelian kamar. Dari sana, secara sepihak, seluruh investasi yang semula untuk Condotel Moya Vidi dialihkan ke Hotel Siti. Pengalihan ini dikelola oleh Koperasi Merah Putih.
Melalui surat tersebut, investor diberitahu akan mendapat keuntungan dengan cara bagi hasil, yang akan dibagikan setiap tahun setelah objek investasi beroperasi dan meraup laba. Problemnya pembangunan Hotel Siti belum rampung dan belum mendapatkan izin dari pemerintah Kotamadya Tangerang.
Dan Koperasi Merah Putih patut diduga sebagai koperasi yang melakukan kegiatan investasi “ilegal.” Koperasi Merah Putih lantas berubah nama menjadi Koperasi Indonesia (Kopindo) Berjamaah. Meski begitu, Kopindo tetap memakai SK lama milik Koperasi Merah Putih.
Jika dihitung total kerugian mereka yang menjadi korban Moya Vidi jumlahnya terbilang kecil bagi Yusuf Mansur. Namun ketika proses hukum ini terus berlangsung maka diharapkan ada korban yang lain untuk berani melaporkannya.
“Kita harus menghentikan pola-pola pengumpulan dana masyarakat yang ilegal itu. Sehingga masyarakat tercerahkan mana yang sedekah dan mana investasi yang sebenarnya. Jalan damai dan pengembalian uang jamaah itu menjadi bukti pengakuan Yusuf Mansur atas kesalahannya. Namun ketika muncul korban-korban lain, Yusuf Mansur yang pernah berjanji akan mengembalikan uang nasabah yang merasa jadi korban, malah mempersulit,” pungkas Darso. []