JAKARTA, WB – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busro Muqoddas menilai selama ini Kementerian Agama (Kemenag) tidak pernah transparan dalam menyampaikan informasi mengenai pengurusan kuota haji yang selama ini dianggap tumpang tindih dengan sistem yang tidak jelas.
Menurut Busro, ketidak transparan tersebut yang menimbulkan kecurigaan besar akan terjadinya dugaan kasus tindak pidana korupsi. Untuk itu, kata Busro, KPK telah meminta kepada Menteri Agama yang baru Lukman Hakim Syafudin untuk mau bersikap transparan dengan memberikan informasi yang gamblang mengenai persoalan tersebut.
”Soal kuota ini tidak pernah transparan, padahal kuota haji bisa menjadi hak utama bagi para calon jemaah ibadah haji,” ujarnya di KPK, Selasa (10/6/2014).
Disamping menimimalisir adanya tindakan kasus korupsi, transparasi kuota haji juga akan memberikan dampak yang positif bagi jemaah haji yang batal berangkat. Karena kursi yang kosong akan digantikan dengan jemaah yang lain, sehingga tidak terjadi antrian yang panjang.
“Kita sudah sampaikan kepada Menteri yang baru untuk diperhatikan,” terangnya.
Lukman sendiri hari ini, telah memenuhi panggilan KPK untuk memberikan keterangan mengenai tugas dan fungsi Menteri Agama. Selain itu, Lukman juga mengaku akan memberikan keterangan mengenai sistem pengolahan dana haji di Kementerian yang ia pimpin.
Lukman, adalah Menteri yang baru dilantik pada Senin (9/6/2014). Ia ditunjuk oleh Presiden SBY untuk menggantikan Menteri sebelumnya Suryadharma Ali karena telah seret kasus korupsi dan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait kasus pengolahan dana haji tahun 2012-2013.
Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 Ayat 1 Kesatu juncto Pasal 65 KUHP dengan hukuman maksimal pidana penjara seumur hidup.
Pasalnya, didalam Pasal 2 Ayat 1 UU, disebutkan, bahwa tersangka diduga telah memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi dan merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Sedangkan di Pasal 3 UU Tipikor salah satunya menyalahgunakan wewenang. Yakni dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang diduga dilakukan Suryadharma, antara lain, dengan memanfaatkan dana setoran awal haji oleh masyarakat untuk membayari pejabat Kementerian Agama dan keluarganya naik haji.
Bahkan PPATK menyebutkan, Suryadharma beserta istri dan para pejabat di Kementerian Agama, berangkat naik haji dengan menggunakan ongkos dana pengolahan haji di Kementerian yang ia pimpin.
Selain itu, KPK juga menduga SDA telah melakukan melakukan Mark up atau penggelembungan dana haji, mengenai biaya pemondokan jamah haji di mekah, biaya catering, dan juga juga akomodasi.[]