JAKARTA, WB – Program konveri BBM ke gas yang dijalankan pemerintah dalam 10 tahun ini hampir berjalan di tempat atau stagnasi. Infrastrultur gas miskin dan konsumsi BBM terutama untuk transportasi justru meningkat.
“Konversi minyak ke gas untuk transportasi tidak berjalan. Di sisi lain, tidak ada pula pembangunan kilang minyak,” ujar Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Effendi Simbolon di Jakarta, Kamis (12/6/2014).
Dia mengatakan, ketergantungan masyarakat Indonesia pada bahan bakar minyak masih cukup tinggi. “Bayangkan 10 tahun pemerintahan ini tidak ada gejolak politik yang berarti. Padahal 10 tahun ini kesempatan emas mantan Menteri Pertambangan dan Energi itu,” katanya di Jokowi-JK Center.
Ketergantungan BBM menjadi permasalahan energi, apalagi itu disuplai dari luar negeri. Selama 10 tahun tidak ada pembangunan kilang minyak. Kilang-kilang minyak yang ada saat ini warisan orde baru. Padahal, membangun satu unit kilang tidaklah mahal, Rp 100 triliun, lebih murah dibanding subsidi BBM.
“Tapi kita biarkan Singapura membesar (kapasitas produksinya) 3,8 juta barel. Kita ngantri ke Singapura yang tidak punya sumber bahan bakunya. Ada apa? Siapa bergantung kepada siapa? Siapa pelakunya?” katanya lagi.
Dalam kesempatan sama, pakar energi Darmawan Prasodjo menuturkan, masalah energi di Indonesia yang menjebol neraca perdagangan dan membebani APBN adalah karena perbedaan komposisi produksi dan konsumsi energi.
Dia mengatakan, produksi migas di Indonesia sebesar 2,3 juta barel. Konsumsinya pun sama. “Tapi produksi migas didominasi gas. Konsumsinya didominasi minyak,” tegas Effendi. [ib]