JAKARTA, WB – Rencana penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dilontarkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ferry Mursyidan Baldan perlu dikaji. Pasalnya sejumlah daerah yang masih memiliki pendapatan rendah akan bergantung pada penerimaan PBB.
“Kami tidak membantah terjadi peningkatan signifikan terhadap harga jual atau NJOP. Itu asessment value bukan fix value, memang terjadi trend pada tingkat perkotaan setelah PBB diserahkan kepada daerah,” ujar Analis pertanahan dari Institute Nusantara 117, Johannes Irwanto Putro lewat pesan singkatnya, Senin (9/2/2015).
Menurutnya, sejumlah daerah yang memiliki penerimaan daerah yang tinggi, tak akan keberatan dengan wacana yang digulirkan oleh Menteri Ferry. Namun, sebaliknya, wacana itu dapat ditentang oleh daerah berpendapatan rendah. Karena PBB merupakan salah satu sumber pendapatan terbesar bagi daerah atau perkotaan.
“Setelah PBB yang semula merupakan pajak pusat kemudian diserahkan ke daerah, terjadi kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di sejumlah daerah tertentu,” ujarnya.
Lebih jauh Johannes menambahkan, usulan Ferry dalam penghapusan PBB juga bertabrakan dengan peraturan. Kata dia ada aturan yang harus direvisi dalam hal ini, yakni Undang-undang 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang mengatur pelimpahan kewenangan pemungutan PBB ke daerah.
“Lebih baik Ferry selesaikan dulu Konflik agraria yang banyak masalah seperti ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan dan pengelolaan sumber-sumber agraria, yang berdampak pada hilangnya hak-hak petani, masayarakat adat, perempuan dan buruh tani/kebun atas tanah dan kekayaan alam lainnya,” ujar Johannes.
Menurutnya, sepanjang SBY berkuasa telah meletus 1.379 konflik agraria di seluruh wilayah Indonesia. Implikasinya adalah kemiskinan dan hilangnya kedaulatan negeri atas sumber agraria dan potensi kerawanan sosial di masa depan. Sepanjang tahun 2013, dari sisi korban terdapat 139.874 kepala keluarga menjadi korban konflik, 22 tewas, 239 ditangkap, 130 dianiaya, dan 30 ditembak.
“Konflik agraria yang selama ini dilestarikan oleh pemerintah dan dibiarkan berserakan tanpa penyelesaian yang tuntas dan menyeluruh akan menghambat pemerintahan baru menjalankan agenda kesejahteraan rakyat,” papar Johannes.
Oleh karena itu dia menyarankan agar perlu dikembangkan lembaga penyelesaian konflik agraria untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria yang masih/sedang terjadi secara tuntas dengan berpegang pada prinsip-prinsip keadilan di masa transisi (transitional justice principles).
“lembaga penyelesaian konflik agraria adalah: 1) UUD 1945 (hasil amandemen ke-4); 2) TAP MPR RI No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumbedaya Alam yang Berkelanjutan: 3) UU No. 39/1999 tentang HAM; dan 4) Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012,” tandas Johannes.[]