JAKARTA, WB – Jika Presiden Joko Widodo juga menolak menyampaikan permintaan maaf kepada para korban peristiwa G-30-S/PKI, Komnas HAM menyarankan presiden menyampaikan rasa penyesalan atas pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia pada masa lalu.
“Presiden sebagai kepala negara punya otoritas mewakili negara untuk memberikan pernyataan menyesal atas tragedi pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia, tahun 1965 adalah salah satunya,” kata Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Imdadun Rahmat di peluncuran buku “Nasib Para Soekarnois” di Jakarta, Kamis (1/10/2015).
“Formatnya bukan meminta maaf kepada korban, melainkan ungkapan penyesalan atas tragedi,” imbuh Imdadun.
Imdadun menjelaskan melalui penyataan penyesalan atas kejadian itu, maka Indonesia akan terlepas dari beban sejarah tragedi 30 September 1965 yang hingga kini belum terselesaikan.
“Manfaat sosialnya bagi bangsa Indonesia adalah terbebasnya dari beban sejarah. Masalah ini selalu muncul setiap akhir September dan ini tidak baik untuk generasi muda,” kata Imdadun.
Menurut Imdadun, jika presiden menolak menyampaikan penyesalan maka tiap tanggal 30 September akan terjadi reproduksi isu untuk membenci salah satu pihak yang dianggap terlibat dalam tragedi itu.
“Isu yang terus-menerus muncul akan menjadi alat reproduksi kebencian sosial. Korban semakin membenci pelaku, sementara pelaku ketakutan untuk diungkap sehingga muncul kebencian baru yang mestinya bisa diakhiri jika presiden bersikap,” kata Imdadun.
Imdadun menjelaskan pernyataan penyesalan dari presiden adalah jalan paling moderat yang paling mungkin dilakukan bangsa Indonesia jika proses pengadilan dianggap berat dan sejumlah keluarga korban sudah memaafkan.
Adapun langkah lanjutan pascaungkapan penyesalan presiden adalah rekonsiliasi dalam jangka waktu tiga tahun yang diawali dengan pengungkapan fakta di bawah komite bentukan presiden.
“Jangan hanya menunggu tapi mendorong presiden untuk melakukan itu (rekonsiliasi). Tanpa dukungan dari masyarakat kami cemas presiden tidak cukup yakin mengambil keputusan yang juga memiliki risiko politik,” kata Imdadun. []