WARTABUANA – Ketika sebuah pesawat yang mengangkut pengiriman gelombang pertama vaksin COVID-19 dari perusahaan farmasi China, Sinovac, mendarat di sebuah bandara di Thailand pada Rabu (24/2), orang-orang yang menunggu di landasan tersebut bersorak dan bertepuk tangan.
“Terima kasih kepada Republik Rakyat China yang telah mengirimkan gelombang pertama vaksin pada bulan ini dan gelombang berikutnya di bulan-bulan mendatang,” demikian disampaikan Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha, ketika menyambut kedatangan vaksin itu di bandara.
Prayut mengungkapkan rasa terima kasihnya saat sebuah kontainer berpendingin dengan spanduk bertuliskan “Vaksin COVID-19, mengembalikan senyuman ke Thailand”, yang ditulis dalam bahasa Thailand, diturunkan dari pesawat.
Vaksin buatan China tersebut akan didistribusikan ke 13 provinsi di Thailand dengan memprioritaskan tenaga kesehatan dan kelompok-kelompok yang paling berisiko, sementara pengiriman-pengiriman selanjutnya diperkirakan tiba pada Maret dan April mendatang.
Thailand, yang dikenal dengan julukan “Negeri Senyuman”, sangat bergantung pada sektor pariwisata. Namun, negara tersebut baru-baru ini mengalami penurunan pariwisata akibat COVID-19. Thailand menerima kunjungan sekitar 40 juta wisatawan asing pada 2019, tetapi hanya 6,7 juta yang tercatat pada tahun lalu.
Diharapkan secara luas bahwa vaksin COVID-19 dapat mengubah situasi ini. Prayut berharap vaksin tersebut dapat berkontribusi pada pemulihan sektor pariwisata Thailand melalui pelonggaran langkah-langkah pembatasan, seperti membebaskan para wisatawan yang telah divaksinasi dari kewajiban menjalani karantina dua pekan.
Kedatangan vaksin Sinovac tersebut menandai sebuah langkah signifikan untuk memulai proses vaksinasi di Thailand dan dengan demikian mengejar ketertinggalan dari negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) lainnya, kata Tang Zhimin, Direktur China ASEAN Studies di Institut Manajemen Panyapiwat yang berbasis di Bangkok.
Di kawasan ASEAN lainnya, dengan COVID-19 dilaporkan telah merenggut lebih dari 50.000 nyawa dari 2,4 juta lebih kasus, negara-negara menaruh kepercayaan mereka pada China dengan memesan, menerima, atau menyetujui penggunaan darurat vaksin buatan China.
Salah satu pembeli terbesar vaksin buatan China adalah Indonesia, yang telah memesan dosis vaksin Sinovac dalam jumlah besar.
“Kita harus memastikan kualitas, keamanan, dan efektivitasnya. Itu yang pertama. Kemudian yang kedua, tentunya harus terdaftar dalam rekomendasi WHO,” kata Siti Nadia Tarmizi, Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Dalam sebuah siaran langsung daring (livestream), Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada 13 Januari lalu menggulung lengan bajunya untuk menerima suntikan dosis pertama vaksin Sinovac, menandai dimulainya kampanye inokulasi massal di Indonesia.
Program vaksinasi besar-besaran tersebut akan membantu Indonesia mencapai kekebalan kelompok (herd immunity) setelah 181,5 juta orang, atau sekitar dua pertiga dari populasi, diinokulasi dalam waktu 15 bulan, menurut Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono.
Indonesia, perekonomian terbesar di Asia Tenggara, menggantungkan harapannya pada upaya vaksinasi massal guna membendung penyebaran kasus COVID-19 yang telah menembus angka 1,3 juta, dan untuk merevitalisasi ekonominya yang terdampak virus itu.
Sementara pada Sabtu (27/2), Malaysia juga menerima pengiriman pertama vaksin Sinovac, beberapa hari setelah negara tersebut memulai program inokulasi, yang bertujuan untuk menginokulasi setidaknya 80 persen dari total populasi negara itu.
Virus tidak memandang perbatasan, dan hanya dengan bekerja sama dalam semangat solidaritas maka masyarakat internasional dapat mengatasi pandemi ini, kata Duta Besar China untuk Malaysia Ouyang Yujing.
Saat pandemi COVID-19 masih berkecamuk dan negara-negara di seluruh dunia berupaya keras mendapatkan vaksin yang pasokannya terbatas, China telah berjanji untuk menjadikan vaksin COVID-19 buatannya sebagai barang publik global. [Xinhua]