WARTABUANA – Sejak lama ribuan buruh sudah menyiapkan aksi besar di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menjegal pengesahan RUU Cipta Kerja. Namun, mereka tak bisa menuju lokasi karena dihadang polisi yang melakukan penyekatan di perbatasan Jakarta. Hari ini, Selasa (6/10/2020) hanya sedikti massa yang berunjuk rasa di depan DPR.
Faktanya sejak Senin (5/10/2020), ribuan buruh sudah pun bergerak dari berbagai daerah ingin masuk ke Jakarta. Mereka berharap suara mereka didengar menjelang pengesahan yang awalnya dijadwalkan pada Kamis (8/10/2020) itu. Ternyata proses di DPR berlangsung cepat pengesahan yang seharusnya hari Kamis menjadi hari Senin.
Buruh menyatakan kecewa dengan para anggota DPR RI yang tetap mengesahkan UU tersebut. Para buruh awalnya hanya diberi informasi pengesahan omnibus law RUU Cipta Kerja akan dilakukan pada Rabu besok. Namun, tiba-tiba jadwal berubah. Kini UU itu sudah disahkan.
Polri mengakui tak mengeluarkan izin terhadap semua demo yang dilakukan buruh kemarin. Hal ini sesuai perintah Kapolri. Kapolri menerbitkan surat telegram bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020.
Telegram itu berisikan sejumlah perintah untuk mengantisipasi aksi unjuk rasa dan mogok kerja buruh pada tanggal 6-8 Oktober 2020 dalam rangka penolakan omnibus law RUU Cipta Kerja.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono membenarkan perihal telegram tersebut. “Ya benar telegram itu, sebagaimana pernah disampaikan Pak Kapolri Jenderal Idham Azis, di tengah pandemi Covid-19 ini keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi atau salus populi suprema lex esto,” kata Argo Yuwono melalui keterangan tertulis, Senin (5/10/2020).
Ada da tujuh poin yang ditolak buruh terkait UU Cipta Kerja. Pertama, para buruh menilai UU Cipta Kerja menghapus ketentuan upah minimum kota/kabupaten (UMK) dan upah minimum sektoral kota/kabupaten (UMSK).
Kedua, buruh menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan. Ketiga, terkait perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang dinilai jadi kontrak seumur hidup dan tidak ada batas waktu kontrak.
Keempat, para buruh menolak rancangan aturan mengenai outsourcing pekerja seumur hidup tanpa jenis pekerjaan. Kelima, buruh menilai dalam UU Cipta Kerja pekerja berpotensi mendapatkan jam kerja yang lebih eksploitatif. Keenam, buruh menilai hak cuti akan hilang dalam UU Cipta Kerja. Ketujuh, buruh menyoroti potensi karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup kehilangan jaminan pensiun dan kesehatan. []