JAKARTA, WB – Panglima TNI Jenderal TNI Dr. Moeldoko mengaku khawatir terkait dengan keberadaan black box, hal itu mengingat kondisi ekor pesawat AirAsia QZ-8501 yang ditemukan di dalam dasar laut perairan Selat Karimata sudah berantakan.
“Ekor pesawat memang sudah ditemukan, saya khawatir kotak hitam (black box) sudah tidak di tempatnya karena ekor pesawat sudah berantakan”, ujar Panglima di atas geladak KRI Banda Aceh, perairan Selat Karimata, Kalimantan Tengah, Jumat (9/1/2015).
Panglima TNI menjelaskan pada saat ditemukan, posisi bawah ekor masuk ke lumpur, sedangkan sayap kiri dan kanan sudah putus. Ada empat jendela yang masih tersambung dengan ekor. Menurut Jenderal TNI Dr. Moeldoko, Tim SAR sudah berupaya mencari kotak hitam, namun belum membuahkan hasil.
“Tadi pagi, tim penyelam pertama sebanyak enam orang turun selama 62 menit untuk memeriksa bagian dalam ekor pada pukul 06.15 WITA. Mereka kembali menyelam menggunakan tabung udara cadangan,” katanya.
Lebih lanjut Panglima TNI menyampaikan, untuk rencana selanjutnya, Tim SAR akan menggunakan alat berat crane dan balon untuk mengangkat ekor. Tim penyelam kedua saat ini disiapkan untuk mengikat sling (tali baja) crane ke ekor pesawat, dilanjutkan membawa balon dan dikaitkan. Sling dari Kapal Crest Onix juga akan dikaitkan. Itu kekuatannya 60 ton.
Disamping itu, Tim SAR juga melakukan upaya untuk mencari kotak hitam dengan menggunakan ping detector yang dibawa Kapal Negara Jadayat. Tujuh penyelam di Kapal Jadayat mengikuti arah ping detector hingga sejauh 300 meter dari lokasi awal.
“Kami mencari arah ping itu ke mana. Kalau ada ping, baru muncul sinyal,” kata Panglima TNI.
Kotak Hitam (Black Box) memang menjadi kunci untuk mengetahui apa penyebab pesawat tersebut terjatuh,karena kotak tersebut berisi rekaman hingga 700 parameter penerbangan seperti waktu terbang, tekanan udara, ketinggian, kecepatan angin, keseimbangan horizontal, arah kompas, dan sebagainya. Black Box juga dapat merekam hingga 25 jam pembicaraan terakhir pilot. Namun selama kotak tersebut belum ditemukan, maka kesimpangsiuran penyebab kandasnya AirAsia akan terus bersifat spekulasi.
Butiran Es
Sementara itu Kepala Litbang BMKG Prof Edvin Aldrian, beberapa waktu lalu menyebut bahwa saat pesawat melintas di wilayah tersebut, terjadi badai hebat disertai adanya butiran-butiran es yang dapat menyebabkan mesin pesawat mengalami kerusakan karena pendinginan.
Pada ketinggian mulai 30 ribu kaki sampai 48 ribu kaki, awan badai mengandung butiran-butiran es “Berdasarkan data yang tersedia di lokasi terakhir pesawat, cuaca jadi faktor pemicu kecelakaan,” kata Aldrian.
Analisis Meteorologi juga mengungkapkan satelit IR mengidentifikasikan adanya awan konvektif pada jalur penerbangan yang dilewati AirAsia QZ8501, dan menunjukkan suhu puncak awan saat itu mencapai -80º sampai -85ºC dan berarti terdapat butiran-butiran es di dalam awan tersebut. Sedangkan pada ketinggian 32 ribu kaki, suhu diperkirakan mencapai lebih dari -25 derajat celcius.
“Bagaimanapun ini hanya satu analisis kemungkinan berdasarkan data meteorologis yang ada, dan bukan merupakan keputusan akhir penyebab kecelakaan itu,” kata Aldrian kepada BBC.
Banyaknya spekulasi penyebab kecelakaan pesawat, dikecewakan oleh Ketua umum Organisasi kesejahteraan rakyat, Poempida Hidayatulloh. Pria yang berprofesi sebagai politisi ini secara tidak langsung mengenal baik dalam soal mekanik atau mesin, pasalnya Poempida menyelesaikan gelar doktor (S3) di tehnik mesin.
Menurutnya, disaat bangsa ini menanti-nanti apa penyebab kecelakaan yang menimpa AirAsia, namun masyarakat justru dibuat menunggu dengan proses penemuan black box yang keberadaanya sendiri masih tidak diketahui sampai sat ini.
Pompida menjelaskan, masalah besar dinegara Indonesia terjadi karena dinegara ini tidak pernah belajar dengan data. Indonesia tidak memiliki data yang akurat terkait apa penyebab kecelakaan pesawat. Berkaca pada musibah pesawat Adam Air yang hilang misalnya, kini berlanjut pada kasus Air Asia, Indonesia tetap saja tidak bisa memberikan penjelasan akurat apa penyebab terjadinya kecelakaan tersebut.
“Harusnya sekarang ini era informasi super cepat dengan riil time bisa diupdate dan bisa dimonitor. Tapi anehnya data apresiasi di indonesia ini sangat tidak jelas. Orang berfikir sumber data ada di black box, dan kita seolah – olah tidak mempunyai cara lain untuk tau apa penyebab kecelakaan pesawat tersebut,” kata Poempida saat dijumpai di bilangan Cikini, Sabtu (10/1/2015).
Menantu politisi senior Fahmi Idris ini menambahkan, seharusnya penyebab kecelakaan pesawat AirAsia sudah bisa dideteksi tanpa harus menunggu ditemukannya black box, melalui dua radar yang berada di Pangkalanbun dan juga radar yang berada di Belitung Timur. Namun sayangnya kedua radar tersebut kata Poempida tidak berfungsi atau mati.
“Harusnya dua radar itu bisa mendeteksi penyebab pesawat yang hilang dilokasi, tapi ternyata radarnya mati, inikan masalah, setau saya ketika komunikasi itu hilang belum tentu data di lock server ikut hilang. Sebab metode security dan server itu open port. Jadi ketika terjadi masalah ada signal yang bisa dikirim pesawat kepada radar-radar yang ada,” ujarnya.
Suami Fahrina Fahmi Idris ini juga tidak sepakat jika kecelakaan pesawat yang terjadi kerap disebabkan oleh hal-hal seperti kesalahan cuaca, human eror, teroris dan juga kombinasi dari ketiganya. Menurutnya ada satu hal lain yang selama ini tidak pernah disebut dalam penyebab jatuhnya pesawat, yakni quality control.
“Sehebat-hebatnya orang membuat enggenering, bisa busuk juga pesawat itu. Jadi tidak terlepas dari quality control. Jadi semua jangan menebak-menebak,” pungkas Poempida.[]