JAKARTA, WB – Iwan Cendikia Liman, terdakwa kasus penggelapan mobil mewah merasa diperlakukan semena-mena oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yulianto Ariwibowo yang memasukan kasus narkoba dalam permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Hal itu terungkap dalam memori kasasi yang diajukan JPU saat mengajukan permohonan Kasasi ke MA atas perkara penggelapan Ferarri 458 Speciale. Diduga JPU mengalihkan Perkara Penggelapan menjadi Perkara Narkoba. Padahal, pokok perkaranya jelas berbeda. JPU terbukti kurang teliti, salah dalam berperkara.
“Aneh …, saya tidak pernah ada tersangkut dengan narkoba. Itu nomor perkara orang lain, bukan nomor perkara saya. Jaksa ceroboh. Saya minta keadilan hukum ditegakkan seadil-adilnya,” ujar Iwan Liman di Rutan Salemba beberapa waktu lalu.
Sebagaimana amar putusan Pengadilan Tinggi DKI, Jakarta No:258/PID.SUS/2017/PT.DKI tanggal 1 November 2017 yang tercantum di memori kasasi yang diajukan JPU adalah milik atas nama terdakwa I: Victor dan terdakwa II: Iing Erwan Supangkat, terkait perkara narkotika dan psikotropika. Sementara Iwan Lima tidak mengenal kedua orang itu.
Iwan Cendekia Liman didakwa melakukan tindak pidana penggelapan Pasal 372 KUHP, sesuai dengan vonis ditingkat pertama Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan No:1267/Pid.B/2017/PN.Jkt.Brt dan dikuatkan putusan banding di tingkat Pengadilan Tinggi DKI No:331/PID/2017/PT.DKI. Kini kasusnya telah dilimpahkan ke Mahkamah Agung untuk Kasasi.
Iwan menduga kuat kasus yang menjerat dirinya sengaja dipaksakan dan diduga kuat ada campur tangan yang menginginkan dirinya dijebloskan masuk penjara. Karena Iwan pada perkara penggelapan yang didakwakannya mengaku tidak bersalah dan justru dirinya lah yang menjadi korban mafia hukum.
Pasalnya, kasus yang dilaporkan Rezky Herbiyono kepadanya, tidak memenuhi unsur penggelapan sebagaimana yang disangkakan kepadanya. Padahal posisi Iwan Liman sebagai penerima pengalihan hak fidusia dari PT Mitsui sebagai penerima fidusia.
Seperti diketahui, mobil Ferrari 458 Speciale milik Rezky Herbiyono, ditarik leasing PT Mitsui Leasing Capital Indonesia. Rezky sebagai debitur telah gagal memenuhi kewajibannya untuk melunasi cicilan mobil tersebut.
Pihak leasing kemudian menawarkan mobil tersebut kepada Iwan Liman dengan status unit tarikan. Setelah melakukan pelunasan sebesar Rp10,2 miliar, terhadap cicilan mobil tersebut, Iwan Liman mendapatkan BPKB dan STNK mobil itu.
Berawal 24 Oktober 2016, Anton Teddy menawarkan kepada Iwan Liman melalui surat penawaran resmi PT Mitsui Leasing Capital Indonesia dengan kop,yang tidak bertanggal, untuk segera lwan Liman Surabaya (memohon) agar dapat melakukan pembayaran ke Bank : BCA Cabang Central Park, No Rekening :5485.678.911 an Rekening PT. Mitsui Leasing Capital Indonesia, sebesar Rp. 6,200,000,000, sehubungan dengan penjualan unit tarikan PT. Mitsui Leasing Capital Indonesia. Dengan keterangan Ferrari Speciale, Tahun 2015, No Polisi : B 1 WTF, Nomor Rangka ZFF75VHC000205607, Nomor Mesin :251907, Wama : Merah.
Melalui email [email protected], jam 13.30 wib, ke alamat email Iwan Cendekia Liman dengan subject email Surat Permohonan Transfer Ferari Speciale. Bahkan Anton Teddy dalam suratnya yang tak bertanggal menegaskan untuk dokumen (Asli) kendaraan, BPKB (termasuk Form A dan Faktur), STNK, Plat Nomor, akan diserahkan setelah dana pelunasan diterima.
Iwan pun, tanggal 25 Oktober 2016, barulah melakukan pembayaran melalui transfer Bank BCA dengan nomor account 3547067854 ke account number 5485678911 an Mitsui Leasing Capital Indonesia sebesar Rp. 6.200.000.000, dengan From account description Pelunasan Speciale Iwan Liman.
Kejanggalan kasus ini pun nampak, ketika dikeluarkannya Surat Keterangan Lunas Pembiayaan tertanggal 25 Oktober 2016 oleh PT Mitsui Leasing Capital Indonesia, yang ditandatangani, Anton Teddy selaku Kepala Cabang, menegaskan bahwa hutang debitur atas nama Rezky Herbiyono sejumlah Rp 12.000.000.000,- telah dilunasi pada tanggal 31 Agustus 2016.
Begitu pula hingga 13 Desember 2016 melalui surat nomor 08.13/OJS.A/XII/16 dari Law Office Osner Johnson Sianipar, sebagai jawaban Somasi nomor 101-S/11216 tertanggal 1 Desember 2016 dari Kantor Hukum Aliansi Reza Prianda SH, Ricky Irawan (Dirut) dan Anton Teddy (Kepala Cabang) PT.Mitsui Capital Leasing Indonesia, pada point 2 mempertanyakan; bahwa berkenaan dengan Perjanjian Pembiayaan tersebut, berdasarkan data yang ada pada catatan Klien Kami (Rezky Herbiyono, red) telah terdapat pembayaran jatuh tempo, pembayaran melalui Giro Klien Rekan sudah di tolak 3 kali dan informasinya rekening sudah ditutup, bahkan Klien Kami berupaya melalui handphone namun tidak dapat dihubungi selanjutnya dibuat perjanjian tertulis, namun tidak mendapat tanggapan sebagaimana mestinya.
Dan dengan terbukti pula, Anton Teddy mengeluarkan Surat Penjualan Unit Tarikan tertanggal 25 Oktober 2016, sehingga Iwan Liman melakukan pembayaran mobll Ferrari 458 Speaciale dengan care transfer sebesar Rp 6.200 000. 000 ke rekenlng Bank BCA Nomor 5485678911 atas name PT. Mitsui Leasing Capital lndonesia.
Dan setelah pelunasan tersebut, Anton Teddy menyerahkan surat-surat keiengkapan mobll Ferari 458 Speciale berupa Buku Pemlllk Kendaraan Bennetor (BPKB) dan Form A, Faktur Asli, Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Plat Nomor Kendaraan B 1 WTF, Surat Pelepasan Hak dan Blangko Kwitansi kepada Iwan Liman melalui sopirnya di Kantor Cabang PT MitsuI Leasing Capital Indonesia di Jalan Central Park Office Tower Lantai 7 Komplek Podomoro City, Jalan S Parman Kavling 28 Jakarta Barat, sehingga kepemilikan mobil Ferrari 458 Speciale tersebut telah beralih kepada Iwan Liman.
Rezky Herbiyono kemudian melaporkan Iwan Cendekia Liman ke Polisi atas tuduhan penggelapan.
Laporan polisi yang dibuat oleh Rezky Herbiyono terhadap Iwan Cendekia Liman Ini tentu saja merupakan sebuah bentuk kezaliman karena posisi Iwan sebenarnya adalah penerima pengalihan hak fidusia dari PT. Mitsui sebagai penerima fidusia.
Namun laporan ini tetap dilanjutkan oleh kepolisian, dimana Iwan Cendikia Liman langsung ditetapkan menjadi tersangka sampai berkas dinyatakan P21 dan diserahkan ke Kejaksaan. JPU Kejaksaan Negeri Jakarta Barat kemudian mendakwa Iwan Cendekia Liman dengan Surat Dakwaan No : PDM-323/Jkt.Brt/07/2017 dibacakan pada tanggal 20 Juli 2017.
Sedangkan pelimpahan berkas perkara dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Barat ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat baru dilakukan pada tanggal 25 Juli 2017 melalui surat No. TAR-12830/)0.1.12/EP.1/07/2017. Artinya Dakwaan dibacakan sebelum pelimpahan berkas perkara dilakukan sehingga surat dakwaan yang mengandung cacat substansi dan kabur (obscuur) serta tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 143 Ayat (2) huruf b jo. Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : SE-004/J.A/11/1993 Tentang Pembuatan Surat Dakwaan.
Oleh karena itu, Surat Dakwaan JPU tersebut yang tidak cermat dalam penulisan tanggal serta penguraian tindak pidana serta unsur-unsur pasal yang didakwakan (instrument delicti) sudah seharusnya dinyatakan sebagai Surat Dakwaan yang tidak memenuhi syarat dan konsekuensinya batal demi hukum.
Hal tersebut juga sebagaimana diatur dalam kaidah yurisprudensi dalam Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 808/K/Pid/1984 yang menyatakan : Dakwaan tidak cermat, jelas dan lengkap sehingga harus dinyatakan batal demi hukum.
Ketidak cermatan Jaksa kembali terjadi pada saat menyusun memori kasasi dimana Jaksa mengaitkan perkara Narkoba No Perkara: 258/Pid.Sus/2017/PT.DKI tanggal 1 November 2017 yang jelas-jelas tidak ada hubungannya sama sekali dengan perkara yang sedang dihadapi Iwan Cendekia Liman. ( Iwan Cendekia Liman tidak pernah terlibat dalam perkara Narkoba apapun )
Kejanggalan lainnya terjadi pada saat Pengadilan Negeri Jakarta barat tidak memberikan terdakwa kesempatan untuk melakukan pembelaan (pleidooi) seperti lazimnya proses dalam peradilan pidana yaitu pada persidangan setelah pembacaan tuntutan JPU. Yang terjadi terdakwa malah dipaksa untuk menyusun pembelaan di hari yang sama dengan hari persidangan pembacaan tuntutan yaitu tanggal 16 Oktober 2017.
Bahkan di hari yang sama dengan pembacaan requisitoir dan pleidooi, yaitu tanggal 16 Oktober 2017, Majelis Hakim membacakan putusannya. Hal tersebut tidak memcerminkan persidangan yang adil karena pembacaan tuntutan, pembelaan serta putusan semua dilakukan dalam satu hari yaitu pada tanggal 16 Oktober 2017.
Keseluruhan proses tersebut juga mengindikasikan bahwa praktek mafia peradilan masih terjadi di lembaga peradilan di Indonesia. Hal yang tentu saja tidak sesuai dengan cita-cita reformasi serta cita penegakan hukum saat ini.
Pihak keluarga terdakwa saat ini masih berupaya untuk menempuh jalur hukum memperjuangkan hak terdakwa yang senyatanya adalah korban konspirasi dan mafia peradilan. []