JAKARTA, WB – Peneliti for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus A.T. Napitupulu menyoal kondisi hukuman mati di Indonesia. Dimana Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengeksekusi mati 14 terpidana mati, keseluruhannya terjerat kasus narkotika. Eksekusi Gelombang I dilakukan pada Minggu, 18 Januari 2015, dilakukan terhadap enam orang terpidana mati.
“Adapun keenam terpidana tersebut adalah Marco Archer Cardoso Moreira (warga negara Brazil), Namaona Denis (warga negara Malawi), Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou (warga negara Nigeria), Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya (warga negara Belanda), Tran Thi Bich Hanh (warga negara Vietnam), dan Rani Andriani alias Melisa Aprilia (warga negara Indonesia),” kata dia dalam keterangannya yang diterima redaksi Wartabuana.com, Jakarta, Kamis (14/4).
Eksekusi Gelombang II dilakukan pada Rabu, 29 April 2015 tengah malam. Kedelapan terpidana mati saat itu adalah Myuran Sukumaran (warga negara Australia), Andrew Chan (warga negara Australia), Martin Anderson (warga negara Ghana), Zainal Abidin bin Mgs Mahmud Badarudin (warga negara Indonesia), Raheem Agbaje Salami (warga negara Spanyol), Rodrigo Gularte (warga negara Brasil), Sylvester Obiekwe Nwolise (warga negara Nigeria) dan Okwudili Oyatanze (warga negara Nigeria).
Setelah eksekusi dua gelombang yang menghabiskan biaya sampai Rp 3 Milyar ini, Jaksa Agung sudah merencanakan eksekusi gelombang III dengan mengajukan anggaran eksekusi ke APBN. Berdasarkan informasi yang dapat dikumpulkan, saat dengan akhir 2015 terdapat 133 orang yang sedang menunggu eksekusi mati di Indonesia berdasarkan data Kementerian Hukum dan HAM.
Bersamaan dengan hal itu, dengan upaya eksekusi dari Jaksa Agung, tren tuntutan dan vonis pidana mati juga meningkat di beberapa pengadilan. Citra tegas yang dipertontonkan Pemerintahan Presiden Jokowi dengan cara mengeksekusi mati nampaknya menjadi populer di kalangan Jaksa dan Hakim. Sepanjang Juli hingga Oktober 2015, yang berhasil ditelusuri saja tidak kurang terdapat 13 Tuntutan Hukuman Mati terhadap Terpidana, baik dalam Kasus Narkotika maupun Pembunuhan Berencana.
Penuntutan yang terdata dilakukan sepanjang bulan Juli sampai dengan Oktober terjadi dua kali di Pengadilan Negeri (PN) Baturaja, dan sisanya merata sebanyak satu kali di masing-masing PN Tanjung Selor, PN Kayuagung, PN Lhoksukon, PN Cibadak, PN Pekanbaru, PN Banda Aceh, PN Tangerang, PN kerawang, PN Surabaya, dan PN Jakarta Pusat.
Untuk vonis pengadilan, terdapat hal menarik, salah satunya adalah bagaimana Mahkamah Agung (MA) memvonis mati 13 orang, di antaranya dengan mengabaikan prinsip hukum penting, yaitu MA bukanlah Judex Factie akan tetapi Judex Juris. Dengan menaikkan vonis hukuman, maka MA bukan lagi menjadi Pengadilan Kasasi akan tetapi Pengadilan Banding tingkat kedua.
Tren vonis mati terlihat dalam jangka waktu tiga bulan, yaitu sepanjang bulan Agustus sampai Oktober 2015 yang berhasil ditelusuri saja sudah terdapat 15 vonis hukuman mati di semua tingkatan pengadilan dari mulai PN sampai MA (Sepanjang bulan Agustus sampai oktober terdapat 12 putusan hukuman mati dari MA, dua putusan di PN Surabaya, dan satu putusan di PN Purwakarta). Angka vonis paska eksekusi mati itu melonjak dari tiga bulan sebelum eksekusi mati sepanjang bulan Oktober sampai dengan Desember 2014 yang hanya lima vonis yang dijatuhkan (sepanjang Oktober sampai dengan Desember 2014), data yang berhasil terhimpun adalah dua putusan dari MA, dua putusan di PN Batam, dan satu putusan di PN Tangerang. []