JAKARTA, WB – Ada empat Fraksi menolak hak angket terkait kasus korupsi eKTP, yakni Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Namun ada kader dari empat partai itu yang meneken tanda tangan sebagai inisiator hak angket.
Sebelumnya sejumlah kalangan mempertanyakan apakah langkah partai politik penolak hak angket KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi konsisten dengan sikapnya. Jangan-jangan mereka hanya pencitraan demi agenda politik.
Pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing mencurigai langkah penolakan itu sekadar pencitraan demi mendulang suara yang berujung kekuasaan. Apalagi pada 2018 ada agenda politik pemilihan kepala daerah di 171 daerah, dan tahun berikutnya merupakan pemilihan legislatif serta pemilihan presiden yang diadakan serentak.
Selain itu, Emrus mengatakan, partai terkesan bermain di dua pihak karena, meskipun menolak, ada kadernya yang menjadi salah satu inisiator hak angket. Buktinya ada kader dari empat partai itu yang meneken tanda tangan sebagai inisiator hak angket, yakni Desmond Junaidi Mahesa dari Gerindra, Fahri Hamzah dari PKS, Rohani Vanath dari PKS, dan Daeng Muhammad dari PAN.
Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus, mengatakan seharusnya partai penolak itu berjuang habis-habisan dalam sidang paripurna. Sebab, kata dia, suatu keputusan harus mendapat persetujuan lebih dari setengah anggota yang hadir.
Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta sejumlah fraksi yang menolak hak angket untuk konsisten dengan sikapnya. DPR sebelumnya telah menyetujui usulan hak angket yang diajukan Komisi III.
Hak angket tersebut bertujuan mendesak KPK membuka berita acara pemeriksaan (BAP) dan rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Hanura, Miryam S Haryani. “Kita perlu mencermati lebih lanjut terutama fraksi-fraksi yang sudah menyatakan penolakan, untuk tetap konsisten menolak,” kata Jubir KPK, Febri Diansyah di Jakarta, Selasa (2/5/2017).
Febri menjelaskan, dalam UU MD3, hak angket ditujukan terhadap berjalannya penerapan UU atau implementasi UU di wilayah pemerintahan atau eksekutif. Dengan demikian, hak angket tidak ada hubungannya dengan proses penegakan hukum yang dilakukan KPK.
Untuk itu, Febri menyatakan, pihaknya tidak akan membuka BAP dan rekaman pemeriksaan Miryam meski didesak dengan hak angket. “Kami dapat banyak sekali mendapat masukan dari ahli hukum tata negara dan pihak lain yang mendukung, KPK tetap fokus pada penegakan hukum dan tidak buka bukti hukum untuk wilayah politik,” tegasnya.
Febri berharap ke depan kewenangan DPR seperti hak angket harus diatur secara spesifik agar tidak masuk dalam proses hukum yang sedang berjalan. Dengan demikian, kewenangan pengawasan yang dimiliki DPR dapat digunakan secara tepat.
Dikatakan, penangkapan, pemeriksaan dan penahanan terhadap Miryam yang sempat buron menjadi salah satu poin yang memastikan proses hukum masih berjalan saat ini.
“Karena itu kalau ada bukti-bukti yang dibuka di luar proses hukum yang berjalan ini tentu berisiko mengganggu kasus yang ditangani KPK. Kita perlu bedakan mana ranah penegakan hukum dan mana ranah politik,” katanya. []