JAKARTA, WB – Di hadapan ratusan peserta diskusi dan peluncuran buku “Tahun 2015 Indonesia “Pecah”, Presiden World Peace Committee (WPC) Djuyoto Suntani menyampaikan rencana pembangunan Istana Negara untuk kantor sekaligus tempat tinggal presiden.
Menurut Djuyoto Suntani, sebagai bangsa yang besar dan sudah berusia 71 tahun, sangat tidak pantas jika presidennya berkantor dan tinggal di bangunan tua bekas peninggalan penjajah Belanda.
“Kita baru saja merayakan HUT kemerdekaan ke 71 tahun, saya prihatin hingga saat ini Presiden Republik Indonesia tidak punya kantor. Kantor beliau masih di gedung tua peninggalan Belanda. Kami sedih. Negara besar namun presidennya tinggal dan berkantor di gedung tua,” ujarnya di Gedung Juang 45, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (17/11/2016).
Jika presiden tetap berkantor di Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Utara, menurut Suntani nanti mindset-nya akan tetap mindset inlander. “Mindset terjajah, mindset kecil. Untuk itu saya bersama teman-teman mendirikan “Yayasan Bangun Istana Negara”. Kami akan menyiapkan istana negara untuk presiden yang berwibawa yang berkonsep nusantara. Jangan lagi presiden berkantor di gedung tua bekas belanda,” tegasnya.
Yayasan Bangun Istana Negara menurut Suntani sudah menyampaikan gagasannya ini kepada pemerintah dan DPR/MPR bahwa mereka sedang mempersiapkan sebuah istana yang layak untuk kepala negara. “Jangan kuatir, pembangunannya tidak menggunakan uang negara. Sebab jika gunakan APBN kemudian ditenderkan, pasti akan jadi bancakan para koruptor,” paaprnya.
Dalam diskusi yang dihadiri banyak tokoh dan aktivis itu juga menghadirkan Ray Rangkuti dan Adhiyaksa Dault sebagai pembicara. Diskusi berlangsung hangat dan dinamis sambil mengupas isi buku karya Djuyoto Suntani berjudul “Tahun 2015 Indonesia “Pecah”.
“Pecah disini ada dua artinya, pecah yang pertama mirip pecah ketuban atau pecah telur, kalau telur itu pecah, lahirlah itik, lahirlah kehidupanm baru. Sama, ketika ketuban itu pecah, lahirlah seorang bayi, lahirlah kehidupan baru. Pecah itu maknanya sangat luas, bukan pecah berantakan,” papar Suntani.
Menurut pencetus ide Gong Perdamaian Dunia ini, kawasan nusantara sejak jaman masehi sudah terjadi tiga kali bersatu. “Abad ke 7 bersatu melalui kerajaan Sriwijaya, usia 70 tahun muncul banyak kerajaan kecil di Sriwijaya, kemudian bersatu lagi melalui kerajaan Majapahit, di usia 70 tahun Majapahit pecah menjadi banyak kerajaan. Tujuh abad kemudian, lahirlah NKRI,” ungkapnya.
Suntani menyatakan, dirinya pernah memberikan warning, di usia 70 tahun, tepatnya tahun 2015 Indonesia akan pecah. “Jangan sampai NKRI pecah,” tegasnya.
Suntani kembali menegaskan, bukunya itu ditulis sebagai warning, sebagai peringatan dan deteksi dini karena kalau para elit politik hanya mementingkan kelompoknya sendiri, tidak mustahil Indonesia akan pecah.
“Siapa sangka Uni Soviet sebagai negara adi daya runtuh di usia 70 tahun dan pecah menjadi 15 negara. Begitu juga dengan Yugoslavia, di usia 70 tahun pecah menjadi 5 negara,” ujarnya.
Dalam bukunya itu Suntani memaparkan tujuh strategi dunia untuk menghancurkan Indonesia, yaitu memperlemah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menghapus ideologi Pancasila, menempatkan uang sebagi dewa, menghapus rasa cinta tanah air, menciptakan sistem multi partai, menumbuhkan sekulerisme dan membentuk tata dunia baru. []