JAKARTA – Gempabumi menjadi salah satu ancaman bencana besar di Indonesia. Hingga kini prediksi gempa secara pasti masih menjadi masalah. Pasalnya negara ini belum mampu memprediksi gempa secara pasti kapan akan terjadi, dimana dan kapan.
Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho Menjelaskan, BMKG sendiri sebetulnya telah mampu mendeteksi gempa bumi, namun hanya 5 menit gempa mampu diketahui dan disampaikan kepada banyak pihak.
“Earthquake Prediction Research Centre Japan (EPRC) telah mengembangkan teknologi yang memungkinkan kita memprediksi gempa dan tsunami sebagai bencana susulan. Ini mendorong Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berkepentingan untuk menerapkan teknologi tadi sebagai upaya peringatan dini. Lebih dari 184 juta masyarakat Indonesia terpapar potensi gempabumi pada kategori sedang hingga tinggi,” tulis Sutopo melalui siaran persnya, Kamis (6/4/2017).
Teknologi yang dimaksud adalah gabungan teknologi canggih seperti satelit, radar, GPS sensor dan peralatan pendukung lain seperti pendeteksi gelombang elektromagnetik. Di samping itu, dukungan teknologi ini tentu disertai beragam data seperti tinggi muka air. Data yang digunakan berasal dari data yang diperoleh dari satelit milik Amerika Serikat, Rusia, Jerman dan Jepang. Beragam data tadi kemudian diolah dan dianalisis dengan supercomputer artificial intelligence.
“Harapan dari pengembangan teknologi ini yaitu terwujudnya International Surface Artificial intelligence Communicator (ISACO). Nanti, setiap orang yang berada di wilayah rawan bencana akan mendapatkan informasi potensi ancaman gempa,” lanjut Sutopo.
Nantinya email peringatan dini dapat diakses melalui smartphone yang memberitahukan 1 hari jelang gempa berkekuatan 5 atau lebih terjadi. Namun demikian, pengetahuan risiko dan kesigapan untuk melakukan evakuasi ke tempat yang lebih tinggi juga sangat penting dipahami oleh setiap individu.
Analisis dari teknologi yang digunakan menunjukkan hasil yang mencengangkan. Persentase akurasi dalam kurun waktu 3 tahun (1 Februari 2013 – 31 Januari 2016) menunjukkan nilai tinggi. Gempa dengan kekuatan magnitude 6 terjadi 38 kali dan terdeteksi sebelum gempa terjadi sebanyak 31 kali atau akurasi mencapai 82%. Gempa dengan magnitude 5 – 5,9, nilai akurasi sebesar 77%.
Melalui teknologi canggih ini, Jepang telah dapat memprediksi potensi gempa sehingga masyarakat dapat siap siaga mengantisipasi risiko terburuk. Jepang memprediksi gempa besar yang kemudian memicu tsunami. Apabila bencana itu terjadi, 323.000 jiwa di 30 prefektur terpapar bahaya tersebut. Menurut perhitungan EPRC, potensi kejadian berdasarkan data sudah mencapai 80%. Potensi gempa tersebut diperkirakan terjadi karena aktivitas lempeng tektonik Great Nankai Trough.
Menurut Peneliti EPRC asal Jepang Shigeyoshi Yagishita, 1.400 tahun terakhir, gempa-gempa besar terjadi pada periode 100 – 200 tahun karena lempeng Nankai Trough.
“Sudah 70 tahun berlalu, dan kemungkinan gempa besar akan terjadi 30 tahun mendatang dengan kemungkinan 80%,” kata Shigeyoshi sebagai analis citra satelit.
Shigeyosi mengatakan bahwa pihaknya telah mengetahui potensi gempa besar tadi, namun sangat sulit membangun tembok penghalang tsunami setinggi 10 meter di sepanjang kepulauan di Jepang. Potensi gempa besar di Nankai Trough dapat memicu tsunami setinggi 34 meter di wilayah Tosashimizu, Kochi.
Sementara itu, EPRC berkeinginan untuk membantu Indonesia karena memiliki karakteristik dimana berada dekat dengan lempeng tektonik. Shigeyoshi menyatakan bahwa pihaknya tidak akan membebankan biaya kepada Pemerintah Indonesia apabila teknologi diterapkan di Indonesia. EPRC memiliki tujuan yaitu menganalisis data besar dan menggunakan teknologi yang dipunyai untuk meminimalkan dampak gempabumi dan berkontribusi untuk menyelamatkan lebih banyak umat manusia di dunia.
Untuk penjajakan pengembangan teknologi prediksi gempa tersebut BNPB akan bekerjasama dengan BMKG, BIG, BPPT, perguruan tinggi dan institusi lainnya.[]