BOGOR, WB – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busryo Muqaddas berpendapat demokrasi yang berkembang di Indonesia hanya mampu dinikmati oleh orang-orang yang kaya atau berkantong tebal.
Menurutnya, sejarah Indonesia dimasa transisi dari Orde Baru sampai Reformasi, sudah menciptakan suatu tata kelola negara yang baru dengan keterbukaan sistem demokrasi. Namun, demokrasi itu masih dipandang kaku karena nyaris tidak membawa Indonesia menjadi lebih baik dari masa sebelumnya.
“Demokrasi hanya bisa diperoleh oleh orang-orang yang berduit. Buktinya Pileg kemarin menunjukan seperti itu,” ujarnya di Bogor, Sabtu (14/6/2014).
Busryo menjelaskan, ketika sistem demokrasi itu belum berjalan dengan matang sesuai dengan ruh-nya. Maka, orang cenderung menyalahgunakan demokrasi semata-mata hanya untuk mengejar kekuasaan, ataupun memperkaya diri sendiri. Bukan dijadikan sebagai landasan nilai untuk mensejahtrakan rakyat atau kemajuan suatu bangsa.
Untuk itu, dengan sadar, Busryo mengkritik partai politik yang dinilai paling kerap berbicara mengenai demokrasi di depan publik, karena sebenarnya mereka adalah pemilik demokrasi tersebut. Maka tidak jarang, menurut Busryo, orang yang tersangkut kasus korupsi adalah mereka pada kader partai politik yang kerap bicara demokrasi.
“Coba liat, hampir setiap kader Parpol pernah berurusan dengan kasus korupsi,” terangnya.
Busryo menambahkan, memang tidak semua kader parpol cenderung bersifat koruptif. Tapi paling tidak menurutnya, jabatan yang mereka dapat adalah hasil dari demokrasi dengan biaya yang mahal, sehingga semua sudah dijadikan komoditas yang bisa dijual belikan kapan saja, karena mereka memiliki kekuasaan atau kewenangan.
Meski demikian, Busryo juga tidak menampik korupsi hanya dilakukan di masa reformasi. Era Orde Baru juga sudah banyak ditemukan korupsi. Namun, sayangnya kala itu tidak dibarengi dengan keterbukaan informasi dari media, sehingga seolah-olah tertutup.
“Korupsi sudah terjadi sejak di orba dan terpusat. Sekarang korupsi juga tersentralistrik,” jelasnya.[]