Oleh : J. Kristiadi
Dalil keramat bentuk pemerintahan Indonesia adalah Republik. Esensinya,rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi manajemen kekuasan negara. Tujuan utama, membangun peradaban politik yang menghargai nilai-nilai yang melekat kodrat manusia. Namun sayangnya
Semakin mendekati hari merayakan kedaulatan rakyat, Pemilu 2024, proses demokrasi semakin bertambah terseok-seok terseret gelombang kleptocracy (daulat maling), politik uang serta mengerasnya oligarki politik.
Kajian multi dimensi mutakhir kejumudan demokrasi di Indonesia dapat dicermati dalam buku Dari Stagnasi ke Reregresi; Usman Hamid (dkk); PT Gramedia, Jakarta; 2021. Gejala tersebut adalah fenomena global. Proses demokrasi selalu diikuti oleh arus memutar balik kearah otoritarian kembali.
Pola kecenderungan peristiwa seperti itu akan selalu berulang bila praktek demokrasi tanpa disertai perangkat kelembagaan yang kuat serta internalisasi cita-cita sebagai dasar kebijakan publik. Studi mengenai gelagat seperti itu antara lain dilakukan oleh Samuel Huntington (The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, (1991). Ia membeberkan gelombang demokrasi di beberapa negara mulai 1974 -1990.
Segudang studi empirik pada tataran global serta kajian-kanian kritis tentang demokrasi di Indonesia tidak mampu menggedor niat elit politik serius menyusun strategi jangka panjang membangun tertib politik yang demokratis. Pemilu semakin lama kehilangan marwah karena di dominasi para petualang dan makelar politik.
Suara rakyat sebagai wujud nyata pemilik kedaulatan hanya senilai harga sembako dan angka statistik. Agregasi perolehan suara rakyat sekedar sarana tawar -menawar kekuasaan para elit. Dalam perspektif rakyat, Pemilu hanya fatamorgana, kelihatan tetapi tidak nyata hasilnya bagi rakyat kecil. Pada hal rakyat adalah pemilik sah kekuasaan negara.
Pesta rakyat yang seharusnya memuliakan kepentingan rakyat, justru menggusur nilai-nilai peradaban yang melekat pada karakter “Republik”. Budaya politik yang di pahat sejengkal demi sejengkal dengan susah payah, di gerogoti berbagai patologi politik. Sehingga pembangunan kelembagaan terbengkelai dan syaraf negara mengidap paralisis.
Menjelang Pemilu 2024, jalan mundur demokratisasi semakin tancap gas dan meluncur pada titik sangat kritikal; karena mencapai sudut tikungan yang mengarah bangkitnya negara otoritarian yang lalim. Ancaman yang sangat eksistensial bagi demokrasi.
Pemicu awalnya adalah gagasan konyol yang kalap tentang tunda Pemilu dan Presiden tiga periode. Dalam sekejab pemikiran abal-abal tersebut mengukuhkan eksistensi dan peranannya menjadi gerakan massa yang membangun budaya kultus individu. Bentuknya, kebulatan tekad dengan memberikan predikat muluk kepada tokoh tertentu. Proyek dan manuver politik yang sangat mudah di tumpangi isyu-isyu sektarian.
Selain itu, polemik tanpa kewarasan memproduksi spekulasi liar yang tidak mustahil menyerang balik para penggagas dan aktor intelektualitasnya. Misalnya, mulai bekembang rumor sosok sentral penggagas mempunyai skenario sebagai berikut. Sketsa awal, yang bersangkutan menjadi Cawapres; seandainya pasangan imajiner menjadi kenyataan, skenario berikutnya satu atau dua tahun kemudian Presiden dengan rekayasa politik di desak mundur dari jabatan. Otomatis yang bersangkutan menjadi presiden. Kisah yang tidak mustahil di ranah politik yang terbiasa mengakali kemustahilan.
Penegasan terbaru Presiden sebagai ungkapan penolakan gagasan dangkal tersebut, ia kesekian kalinya menekankan Pemilu tetap diselenggarakan tahun 2024. Masih dipertajam lagi dengan perintah agar regulasi yang diperlukan segera di selesaikan. Ia sangat sadar ide sembarangan tersebut adalah jebakan yang dapat meremukan demokrasi (Kompas, Senin, 10/4/2022).
Pernyataan sejenis sangat perlu berkali-kali dilakukan mengingat para penggagas, pendukung, partisan, serta perkakas politiknya sangat agesif, percaya diri serta amat bergairah. Mungkin karena merasa mendapat dukungan dari sosok yang mempunyai kekuatan politik luar biasa. Perilakunya ibarat kuda perang; berjingkrak-jingkrak, surainya melambai-lambai di atas tengkuknya, kaki depannya bergerak maju menggali tanah dengan gembira, mendandakan siap maju untuk bertempur.
Indonesia bukan Republik Pemilu, tetapi Rebublik yang maksim sakralnya ditorehkan dalam Pembukaan UUD 1945, negara dibentuk untuk mewujudkan rakyat Indonesia sejahtera dan bahagia. Pemilu 2024 momentum sangat tepat melakukan pendidikan politik rakyat agar mereka paham memilih para wakil rakyat,kepala daerah, presiden dan pejabat lain yang yang kompeten dan pantas menerima kehormatan dan mandat kekuasaan melaksanakan tugas mulianya. []