JAKARTA, WB – Polemik bermunculan setelah Presiden Jokowi melantik 9 anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang didominasi orang-orang partai pendukungnya. Padahal, Wantimpres merupakan lembaga yang diharapkan bisa memberikan `bisikan` positif kepada presiden agar melahirkan kebijakan pro rakyat.
`Bola panas` penunjukkan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri belum `adem`, Jokowi sudah melakukan kebijakan yang mengundang polemik dan cibiran lawan politiknya dengan melantik 6 tokoh partai pendukunya duduk sebagai anggota Wantimpres pada Senin (19/1/2015).
Mereka adalah Rusdi Kirana (PKB), Suharso Manuarfa (PPP), Sidarto Danusubroto (PDI-P), Yusuf Kartanegara (PKPI), Subagyo HS (Hanura) dan Jan Darmadi (Nasdem). Sementara tiga lainnya Abdul Malik Jafar dari Muhammadiyah, Hasyim Muzadi dari NU dan Sri Adiningsih seorang ekonom.
Seperti tertulis di laman Wantimpres, tugas Wantimpres adalah untuk memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara. Pemberian nasihat dan pertimbangan tersebut wajib dilakukan oleh Wantimpres baik diminta ataupun tidak oleh Presiden. Penyampaian nasihat dan pertimbangan tersebut dapat dilakukan secara perorangan maupun sebagai satu kesatuan nasihat dan pertimbangan seluruh anggota dewan.
Dalam menjalankan tugasnya, Wantimpres melaksanakan fungsi nasihat dan pertimbangan yang terkait dengan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya tersebut, Wantimpres tidak dibenarkan memberikan keterangan, pernyataan, dan/atau menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangan kepada pihak manapun.
Atas permintaan Presiden, Wantimpres dapat mengikuti sidang kabinet serta kunjungan kerja dan kunjungan kenegaraan. Dalam melaksanakan tugasnya, Wantimpres dapat meminta informasi dari instansi pemerintah terkait dan lembaga negara lainnya. Selain itu, kepada Ketua dan Anggota Wantimpres diberikan hak keuangan dan fasilitas lainnya sesuai dengan yang diberikan kepada Menteri Negara.
Nah, bagaimana jika anggota Wantimpres itu dipilih bukan berdasarkan kompetensinya, melainkan hanya sebagai bentuk balas budi semata, sehingga tidak memperdulikan lagi jejak rekam masa lalu dan kiprahnya selama ini.
Bandar Judi
Rachmawati yang pernah pernah menjadi Wantimpres pada periode 2007-2009 sangat gusar dengan beberapa nama yang dipilih menjadi Wantimpres. Menurutnya, anggota Wantimpres juga harus berjiwa dan berwawasan negarawan karena memiliki fungsi memberi saran dan pertimbangan kepada presiden.
Rachma juga menegaskan, PPATK juga KPK harus bekerja keras melidik harta kekayaan seluruh anggota Wantimpres. “Salah satunya JD pernah menjadi pemilik kasino tempat perjudian, yang anggota parpol pendukung Jokowi-JK,” ujar Rachma.
Dengan memasukkan JD di jajaran Wantimpres, kata Rachma, sangat dikhawatirkan terjadi konflik kepentingan antara pengusaha, partisan, dan pejabat pemerintah (state-man).
“Ini menjadi preseden buruk ketatanegaraan Indonesia,” ujar mantan Ketua Dewan Pertimbangan Partai Nasdem ini.
Jika JD yang dimaksud Rachma adalah Jan Darmadi, seperti tertulis di http://id.wikipedia.org, pria memiliki nama lahir Jauw Fok Joe. Dia seorang pengusaha property Indonesia, pendiri dari Jakarta Setiabudi Internasional tahun 1975.
Jan adalah salah satu pengusaha sukses dan senior pemilik PT Jakarta Setiabudi International Tbk yang bergerak di bidang properti dengan basis bisnis di Jakarta, Yogyakarta, dan Bali. Di NasDem, dia duduk sebagai Ketua Majelis Tinggi partai. Jika masa lalu Jan terkait praktek perjudian, apalagi sempat menjadi bandar judi, sudah selayak pilihan Jokowi ini dipertanyakan.
Balas Jasa
Pengamat politik Tjipta Lesmana menilai, pemilihan anggota Wantimpres tidak lebih dari bentuk politik balas jasa. “Sudah berulang kali Jokowi menabrak janjinya kepada rakyat. Berulang kali komitmennya dilanggar, lalu ini sekarang (dalam pemilihan) anggota Wantimpres,” kata Tjipta, Senin (19/1/2015).
Tjipta mengatakan, Jokowi tidak bisa melepaskan diri dari kungkungan partai politik yang mendukungnya dan Jusuf Kalla pada saat pilpres lalu. “Artinya apa? Ini balas jasa,” kata Tjipta.
Pakar komunikasi politik yang suka ceplas-celpos ini menambahkan, bukan kali ini saja Jokowi menempatkan orang-orang titipan dalam posisi strategis. Seperti dalam pemilihan Jaksa Agung HM Prasetyo, yang ketika itu menjadi politisi Partai Nasdem (kini keluar dari Nasdem).
Selain itu, penunjukan Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal kepala Polri. Budi merupakan mantan ajudan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri, yang juga Ketua Umum DPP PDI Perjuangan.
“Semua itu, Jaksa Agung, Budi Gunawan itu balas jasa. Kita lihat Hendro Priyono terus Soebagyo HS itu semua kan nama-nama yang aktif bantu Jokowi saat pilpres,” tandasnya. []