WARTABUANA – Lantunan gema zikir terdengar dari pengeras suara milik Pesantren Seuramoe Darussalam, di pelosok Gampong Beuredeun, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Di dalam bilik berukuran 10 x 5 meter, ada sekitar 40 orang yang sedang ibadah suluk.
Pimpinan pesantren, Tengku Harwalis, mengatakan suluk adalah ibadah yang dikembangkan tarikat Naqsyabandiah sekitar abad ke-13 dan ke-14 Masehi. Ritual ini dipimpin oleh orang yang sudah memiliki ijazah dalam ilmu tasawuf alias mursyid.
Berbeda dengan ibadah iktikaf, yang doa dan bacaan zikirnya boleh dilakukan masing-masing, suluk punya bacaan tersendiri yang yang ditentukan oleh mursyid. Ibadah ini dilaksanakan dengan sebuah target tertentu, agar nilai dan jumlah bacaan doa maupun zikir sampai pada batasnya.
Tengku Harwalis mengatakan orang-orang yang sedang melaksanakan ibadah suluk tidak pernah hentinya bertasbih, kecuali datang waktu salat, sahur dan berbuka.
“Para jamaah suluk, bertasbih selama 24 jam tanpa henti, bahkan tidurpun mereka masih tetap bertasbih dalam hatinya, kecuali hendak berbuka dan salat,” kata Tengku Harwalis.
Adapun durasi suluk bisa berlangsung 10 hari, 20 hari, hingga 40 hari, yang dilaksanakan sebelum dan sesudah bulan Ramadan.
“Ada ribuan ayat dan zikir yang dibacakan oleh orang-orang yang sedang mengikuti suluk, semuanya untuk membersihkan diri dan hati dari perbuatan yang menyimpang, dan kembali kepada Allah,” jelas Harwalis.
Nek Hendon adalah salah seorang warga Lambaro, Aceh Besar, yang hampir tak pernah absen mengikuti suluk setiap Ramadan. Namun, Ramadan kali ini pria berusia 82 tahun itu terpaksa bolos karena mengalami penyakit keropos tulang.
Saat masih aktif mengikuti suluk, Nek Hendon bergabung bersama puluhan peserta suluk lainnya di balai pengajian. Tidak sedikit dari mereka yang usianya sudah tidak lagi muda, kenang Nek Hendon.
“Ada yang ikut suluk untuk melepas nazar, mereka yang sudah tua ingin taubat nasuha, ada juga untuk mengubah diri sepenuhnya,” kata Hendon.
Di kalangan keluarga Nek Hendon, tradisi suluk sudah menjadi keturunan, karena ayahnya merupakan seorang yang membantu mursyid dalam ibadah tersebut.
“Memang benar bagi orang yang mengikuti suluk, kami hanya tidur setelah salat subuh selama dua jam, bahkan tidak makan daging, ikan, telur dan lainnya. Bagi orang yang suluk mereka hanya makan nasi dengan sayur,” kata Hendon.
Menanggapi ibadah suluk, Guru Besar Ilmu Filsafat Islam pada Fakultas Ushuluddin UIN Ar-Raniry, Profesor Syamsul Rijal, menilai ritual itu positif dan sangat baik.
Namun, dia menyayangkan satu hal, yaitu semua orang seperti berlomba-lomba beribadah tatkala bulan Ramadan tiba, tapi abai selepas Ramadan. []