WARTABUANA – Indonesia adalah sebuah ikhtiar dari jutaan orang berbeda-beda yang mencoba hidup bersama dalam satu komunitas. Rumusan ‘Sumpah Pemuda’; tanah air yang satu, bangsa yang satu, dan bahasa Indonesia yang satu, adalah penegasan tentang cita-cita yang diikhtiarkan bangsa Indonesia, dalam hal ini pemuda, untuk menguatkan dan mengokohkan rasa nasionalisme kebangsaan.
“Namun dalam proses perjalanan menempuh cita-cita yang diikhtiarkan seringkali tersandung batu karang sehingga membuat jatuh bangun,” ujar Pendiri Rumah Budaya Satu-Satu (RBSS), Eddie Karsito dalam acara peringatan ‘Hari Sumpah Pemuda 1928 – 2019’, yang berlangsung di Sanggar Humaniora, Kranggan Permai, Jatisampurna, Bekasi, Senin (28/10/2019).
Dalam kondisi demikian, kata Eddie, imajinasi kebangsaan yang dibangun melalui Sumpah Pemuda, yang pernah menjadi payung bersama sebagian runtuh. Krisis ini semakin diperparah dengan praktik-praktik bernegara yang tidak lurus. Dari mulai kasus hukum, korupsi, kerusuhan sosial, sentimen SARA, kisruh pemilu, dan lain-lain.
“Hal ini antara lain semakin memalingkan wajah pemuda kita dari semangat nasionalisme yang seharusnya membangun peradaban. Akibatnya Indonesia sekarang dilanda krisis toleransi, tenggang rasa yang lemah dan kekerasan antar kelompok,” ujar budayawan yang juga salah satu Juri Pengamat Anugerah Duta Seni Budaya Jawa Timur ini.
Peringatan Hari Sumpah Pemuda, lanjut Eddie, harus menjadi momentum membangun keterbukaan dan budaya inklusif. Masing-masing pihak ada kerelaan menanggalkan rasa ‘keakuan’; suku, agama, ras, dan kelompok. Menekankan pentingnya penerimaan terhadap adanya keragaman budaya; multikulturalisme dan pluralisme dalam rangka membangun rumah kebangsaan nasional.
“Hal inilah yang dicontohkan para pendiri bangsa kita ketika pertama kali membangun rumah kebangsaan Indonesia melalui Sumpah Pemuda 1928,” ujar tokoh pemuda yang pernah menerima penghargaan “Anak Bangsa Berkepribadian Pembangunan 2013” dari Kementerian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia ini.
Peringatan ‘Hari Sumpah Pemuda 1928 – 2019’ ini, terang Eddie, sekaligus menandai hari lahirnya Rumah Budaya Satu-satu (RBSS) yang dideklarasikan para seniman, budayawan, tokoh adat, tokoh masyarakat, pejabat, birokrat, dan pemerhati masalah sosial budaya, sejak 28 Oktober 2017 lalu.
“Sumpah Pemuda menjadi momentum dan spirit bagi Rumah Budaya Satu-Satu (RBSS), untuk menjaga Indonesia yang multikultural. Memperkuat nasionalisme, persatuan, dan kesatuan, serta menjadi bangsa kuat dan lebih beradab di dunia,” ujar penulis buku Drama Wayang (Drayang) Swargaloka – Opera Terbaik Dunia (2019) ini.
Rumah Budaya Satu-Satu (RBSS) menjadi wadah yang mengajarkan kepada anak-anak muda concern terhadap masalah kemanusiaan sejak dini. Mempelajari etnologi; pengetahuan terkait dengan berbagai suku bangsa; aspek kebudayaannya, serta hubungan antar bangsa.
Upaya ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih bagi tumbuh kembangnya kepribadian anak-anak Indonesia ke arah yang lebih positif dan kreatif. “Anak-anak dan para remaja ini kami siapkan menjadi pandu budaya. Menjadi pribadi yang menguatkan; berjiwa kesatria, berani, cinta lingkungan hidup, dan suka menolong sesama makhluk. Belajar menjadi manusia seutuhnya; memanusiakan manusia,” ujar Ketua Umum Humaniora Foundation ini menutup.[]