WARTABUANA – Perhelatan akbar Jakarta Horror Screen Festival 2020, yang digagas Kumpulan Jurnalis Sinema Indonesia (KJSI), masih berlanjut (episode 3) dengan kegiatan obrolan santai seputar film horor dan ‘tetek bengek’nya yang di gelar setiap malam Jumat di kedai Kopi Lali Bojo, Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Pada Kamis malam Jumat (5/3/ 2020) obrolan semi talkshow kali ini membahas ‘Novel Horor : Masihkah Jadi Tambang Emas Produser?’
Teguh Yuswanto, Creative Director Jakarta Horror Screen Festival 2020, menghadirkan empat narasumber antara lain : Adham T. Fusama (penulis novel horor Surat Dari Kematian), Sutrisno Buyil (Wartawan Senior), Nasrul Warid (Produser Amanah Surga Production) serta Evelyn Afnilia (penulis cerita/naskah).
Obrolan cukup cukup hangat disimak, karena masing-masing narasumber punya pandangan berbeda. Seperti halnya wartawan senior di ranah hiburan, Trisno Buyil yang mengatakan seringnya terjadi ‘miss’ saat mengeksekusi produksi film horor ; antara produser dengan penulis naskah dan pemilik novel horor.
“Perbedaan pandangan dan selera sering terjadi diantara mereka seperti produser, penulis novel dan penulis naskahnya. Masing masing punya argumen sendiri, mau dibawa kemana film tersebut nantinya. Alhasil tidak sedikit filn horor yang berbasis novel horor/misteri, seringkali jomplang dari cerita aslinya,” papar Trisno Buyil.
Lain Buyil, lain pula penulis novel Surat Dari Kematian, Adham T. Fusama, yang berpendapat bahwa eksekusi cerita dari novel horor untuk dijadikan sebuah film memang bukanlah perkara mudah. “Pada akhirnya semua kembali kepada produser, mau dibuat seperti apa filmnya. Jika memang harus keluar dari cerita asli novelnya, yah bagi saya mungkin karena produsernya punya pemikiran tersendiri,” jelas Adham T. Fusama.
“Yang terpenting bagi saya – jika memposisikan sebagai penonton film horor- , entah itu dibintangi oleh aktor-aktor mahal sekalipun, yang paling penting itu adalah kreatif dalam memainkan imajiner,” tambahnya.
“Nah itu benar kata Mas Adham, filmmaker dan sineas harus juga leluasa dalam meng-eksplor ide-ide cemerlang. Jangan cuma menampilkan hantu yang itu-itu saja, bosan,” timpal Buyil.
Sementara itu, penulis naskah/cerita, Evelyn Afnilia memaparkan, menciptakan imajiner dalam visual memang bukan pekerjaan mudah. “Apalagi jika itu berasal dari novel horor. Dan bila terjadi perbedaan mencolok dalam eksekusi pada sebuah film horor yang berasal dari novel, yah memang lumrah saja,” tutur Evelyn Afnilia.
“Jika terjadi perbedaan antara naskah dan eksekusi di lapangan, yah sebenarnya tinggal bagaimana produser saja. Umpama ketika saya deadlock sebagai penulis, mempertanyakan kenapa kok jadi beda dengan naskah dalam beberapa scene? yah hanya produser yang punya wewenang kepada sutradaranya,” lanjut Evelyn.
Film horor Indonesia memang tak bisa lepas dari kultur ‘klenik’ , namun juga tak lepas dari peran penting penggarapan yang ‘sarat serius’ dan dukungan biaya produksi dan promosi.
Semua berkaitan, hingga pada akhirnya film tersebut di cerna oleh penontonnya dengan kasta atau kualitas. “Bagi saya , banyak kok penulis novel horor yang bagus karyanya. namun semua kembali lagi kepada biaya produksi dan kekuatan promosi film horor tersebut. Kita gak kekurangan penulis novel horor kok. Bahkan juga penulis cerita juga banyak yang bagus,” jelas Warid.
“Tapi jangan salah, faktor keberuntungan juga berperan. Nah persoalannya adalah bagaimana film horor tersebut mampu memberikan ruang hiburan yang patut di gandrungi penonton. yah jadi kalau bicara film horor Indonesia nih, banyak setannya yang bisa di angkat ke dalam film. “Dan saya yakin tahun ini , novel horor masih punya kekuatan untuk menjadi tambang emasnya produser film. Yah film horor gampang laku di pasaran,” pungkas Warid. [Q2]