WARTABUANA – Jelang akhir tahun FORWAN kerja bareng Humas TVRI, PWI, Nagaswara Musik, Pro Aktif, Papa Rons Pizza Cafe dan PT Kino Indonesia Tbk dan Ascada Musik menggelar diskusi publik seputar industri Pertelevisian dengan mengusung tema “Membaca Tren Media Lanscape di Era Industri Digital 4.0” dengan narasumber Naratama seorang produser televisi Voice Of America (VOA), Rummy Aziez (produser Jagonya Musik dan Suport) dan Seno M Hardjo (produser label Target Pop).
“Tema ini kami pilih sesuai harapan pemangku kepentingan televisi, dan media landscape yang sekarang ini tengah berkembang pesat perlu dipahami teman-teman media yang setiap hari meliput dunia hiburan,” ujar Sutrisno Buyil Ketua Umum Forum Wartawan Hiburan dalam kata sambutanya di Studio Of Star TVRI yang sekaligus Resto Papa Rons Pizza Cafe komplek TVRI Stasiun Pusat Jakarta Kamis (6/12/2018).
Era Digital membawa berbagai dampak positif yang bisa kita gunakan sebaik-baiknya namun Era Digital juga memiliki banyak dampak negatif. Sehingga ini menjadi tantangan di Era Digital. Berbagai tantangan Era Digital yang memasuki berbagai bidang seperti politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, keamanan, dan teknologi informasi.
“Anak-anak sekarang melihatnya media landscape digital, bukan televisi. Anak-anak sekarang tidak lagi mendengar musik dari radio, tapi forecast. New York sekarang jadi biggest forecast”
Perubahan yang paling terasa adalah dalam media massa. Media massa konvensional yang dulu menjadi bacaan sekaligus sumber hidup banyak orang, sudah tergantikan oleh media online, pemesan barang kebutuhan konsumsi dan alat transportasi sudah berada dalam genggaman.
Sejak beberapa tahun belakangan, dunia penyiaran juga mulai terancam oleh teknologi digital. Siaran televisi kurang diminati lagi generasi milenial, karena konten-konten hiburan, berbagai jenis informasi sudah bisa dilihat melalui telepon genggam. Kapan saja, di mana saja.
“Anak-anak sekarang melihatnya media landscape digital, bukan televisi. Anak-anak sekarang tidak lagi mendengar musik dari radio, tapi forecast. New York sekarang jadi biggest forecast,” papar Naratama, praktisi pertelevisian yang kini bekerja di Voice of America (VOA).
Nara yang tampil sebagai pembicara dalam Diskusi bertajuk “Membaca Tren Media Lanscape di Era Industri Digital 4.0” Anak-anak muda, sebagai konsumen acara televisi, hanya memiliki waktu 10 detik dalam menentukan waktu untuk membaca atau melihat apa yang mau ditonton.
“Jika program itu menarik akan dilanjutkan, jika tidak ditinggalkan. Dan anak-anak muda hanya menonton program yang mereka sukai,” tukas Nara dalam acara yang diadakan oleh Forum Wartawan Hiburan (FORWAN) itu.
Karenanya, era digital menurut Nara memiliki dua sisi. Negatifnya, telah menghabisi bisnis lama yang dijalankan secara konvensional, tetapi positifnya era ini membuka peluang kepada siapa saja untuk bisa berperan. “Semua bisa dilakukan lebih simpel, tidak perlu SDM yang banyak, yang penting seseorang bisa memiliki multiskill. Dia bisa menulis, bisa mengoperasikan kamera, bisa mengedit dan pembawa acara seligus. Banyak siaran dari studio televisi yang hanya ditangani oleh dua orang,” tuturnya.
Sementara Seno M Hardjo juga merasakan berkah kemajuan teknologi digital. Jika dulu dia harus menyiapkan infrastruktur rekaman bila ingin membuat rekaman musik, kini dia tinggal memesan kepada pemusik, lalu pemusik mengerjakan di rumah dan tinggal mengirim hasilnya.
Di era digital ini, selain biaya produksi semakin murah, promosinya pun bisa lebih murah, karena media online jangkauannya luas.
“Dulu biaya promosi 3 kali dari biaya produksi. Sekarang produksi sebuah lebih gede banget, tapi biaya promosi lebih murah, saya sangat terbantu oleh promosi media online,” jelas Seno.
Rummy Azies produser Jagonya Musik dan Suport menambahkan, era digital telah merusak bisnis dunia musik, karena orang lebih mudah mendapatkan lagu-lagu ilegal melalui internet.
“Musik tetap maju, tapi bisnisnya hancur. Posisi kita sendiri berada di tengah. Dibilang terpuruk tidak, masih ada, tetapi mengembangkan bisnisnya sulit. Kita butuh peluang-peluang baru, yang bisa ditayangin secara internasional,” tegas Rummy
Nara mengungkapkan kalau kondisi industri musik di Amerika berbeda dibandingkan Indonesia. Menurut Nara, para artis di Amerika tidak lagi mencari uang dengan musiknya melalui media. Mereka hanya menggunakan media digital untuk branding barang-barang yang dikenakannya. Untuk cari duit mereka melakukan kegiatan off air.“Artis yang jarang muncul di televisi harga tiketnya tetap mahal kalau mengadakan pertunjukkan. Boy George tiketnya masih 50 dolar. Makin jarang muncul makin mahal tikethya. Promosinya melalui instagram,” katanya.
Rummy berharap diskusi yang dilakukan oleh FORWAN bisa dikembangkan pada gelaran Diskusi Akhir Tahun Seputar Industri Musik yang bakal digelar Sabtu (15/12)
“Diskusi yang digelar FORWAN membuka mata saya selaku bisnis musik. Makanya saya berharap pada diskusi Musik nanti FORWAN bisa menajamkan tema diskusinya ” tandas Rummy (FORWAN). []