WARTABUANA – Episode demi episode talkshow film horor sebagai rangkaian menuju event akbar “Jakarta Horror Screen Festival 2020” semakin seru. Di episode ke-4 bertajuk ‘Film Horor : Murahan Atau Berkelas?’ yang digelar Kamis (12/3/20202) di Kopi Lali Bojo, Pondok Bambu ini menghadirkan narasumber berkelas.
Creative Director Jakarta Horror Screen Festival 2020 ,Teguh Yuswanto mendatangkan lima pembicara, diantaranya Sutrisno Buyil (Jurnalis ), Muhammad Bagiono ( Produser ) dan tiga aktris cantik, Alda Augustine, Nadira Nazmi dan Rency Milano.
Menurut Muhammad Bagiono atau yang akrab disapa Gion, kini film horor Indonesia yang disebut murahan sudah jarang. “Memang tak ada parameter film horor itu murahan atau berkelas. Ini hanya soal persepsi publik. Bahwa letupan opini soal film horor yang notabennya digarap dengan budget murah, terkesan menjadi film murahan. Tapi bukan begitu cara pandangnya,” ujar Gion yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Perkumpulan Artis Film Indonesia (Pafindo).
Lebih jauh Gion menegaskan, faktanya banyak film film horor produksi dalam negeri yang menyedot modal besar, tapi dari tampilan visual tidak berkelas.
“Saya kurang sepakat kalau berkembang pemikiran film horor itu kelas murah. Intinya semua film tinggal tergantung sejauh apa keseriusan penggarapannya, secara totalitas yah. Begitupun keseimbangan antara besarnya biaya produksi dengan promosi penting juga diperhatikan,”papar Gion.
Sementara, Sutrisno Buyil mengatakan, jika masih ada filmm horor dengan biaya produski murah dan penggrapan yang asal, maka tidak akan lama ‘umur’nya di bioskop.
“Pasar atau masyarakat kita sudah cerdas memilah milih mana film berkualitas dan tidak. Sebut saja semisal film horor yang meraih jutaan penonton, jelas terbukti bahwa film itu punya selera pasar alias cerdas menyimak minat pasar. Maka masyarakat juga menyambutnya untuk nonton ke bioskop,” ujar Buyil.
Karena sangat tepat jika para produser dan sutradara juga terlibat dalam acara ini. Jangan giliran filmnya dikritik wartawan baru berasa gatal-gatal.
“Nah jika masih ada film film horor dengan biaya produksi murah, penggarapan yang sesuka hati atau minimalis lah, meski sudah ‘ditambal’ pakai bintang terkenal, tidaak akan menjamin bisa sukses. Apalagi jika biaya promosinya juga ikut-ikutan minimalis,” lanjutnya.
Dari sisi pemain film, ternyata banyak juga pendapat yang menarik. Seperti ungkapan Alda Augustine yang mengakui banyak sineas dan filmmaker yang mulai serius menyimak selera pasar.
“Sejujurnya sih menurutku film horor masih punya kekuatan menyumbang penonton banyak di bioskop. Yah ambil contoh semisal film horor yang keluaran studio raksasa dan digarap oleh sutradara beken yang punya catatan komersil untuk membuat film horor. Maka biasanya nilai jual filmnya juga tinggi,” jelas Alda.
Sementara itu menurut Nadira Nazmi, jika ingin sukses, produksi film harus juga memikirkan biaya dan strategi promosinya. “Karena kultur masyarakat kita ini kan unik yah, ada film bagus tapi miskin promosi, malah sedikit penayangannya. Tapi ada film yang ceritanya biasa, dibintangi aktor kondang dan rentetan lainnya, malah penontonnya banjir di bioskop karena kekuatan promosi tadi,” ungkap Nadira Nazmi.
Namun Rency Milano menyoroti ulah pembuat film yang selalu menampilkan sosok hantu yang itu itu saja. “Persoalan murahan atau berkelas kan juga terlihat dari konten film horornya, artinya semua film horor kan punya premis masing masing. Hal ini juga menjadi nilai jualnya. Tapi mungkin saya perlu memberikan catatan bahwa sesuatu yang horor bukan harus setan dan hantu. Suasana mencekam dan ngeri itu juga horor,” tegasnya.
Dukung Festival Film Horor
Gion yang sedang mempersiapkan produksi film debutnya Ratu Kuntilanak, punya pemikiran sendiri kenapa film horor Indonesia masih ‘doyan’ mengandalkan kuntilanak dan pocong. Menurutya, semua ini terjadi karena dua ‘brand’ setan itu tadi hanya ada di Indonesia.
“Kalau drakula dan vampir juga manusia serigala berasal dari Eropa, begitupun zombie dari Amerika Serikat. Nah Indonesia punya banyak; ada pocong, sundal bolong, kuntilanak, siluman ular, serta lainnya bahkan hantu Maryam Si Manis Jembatan Ancol juga masih jadi cerita horor hingga kini,” ungkap Gion.
Gion sendiri menyampaikan dukungannya terhadap perhelatan akbar penghargaan bagi industri film horor tanah air yang di gagas Kumpulan Jurnalis Sinema Indonesia (KJSI).
Menurutnya, film horor ini kan sempit prestasi di negeri sendiri karena belum ada yang mendapatkan penghargaan di ajang festival film di Indonesia. “Untuk itu jika ada teman teman jurnalis yang punya sikap untuk membuat ajang penghargaan bagi film horor, yah saya secara pribadi wajib dukung dong..?! Mereka telah memulai dengan sebuah keberanian sikap,” tambahnya.
Gion mengajak semua stake holder perfilman tanah air ikut ambil bagian memberikan dukungan moral untuk tampil di acara ini. Kita butuh wadah untuk menyampaikan pesan dan bertukar fikiran. Karena sangat tepat jika para produser dan sutradara juga terlibat dalam acara ini. Jangan giliran filmnya dikritik wartawan baru berasa gatal-gatal. []