Oleh : Wina Armada Sukardi
“Saya ini dalam segala hal kalah oleh Bung Wina,” kata (almarhum) ketua umum PWI Pusat Margiono. “Kecuali satu, waktu pemilihan ketua umum PWI Pusat, saya yang menang!” tambahnya. Ada nada guyon , tapi juga ada nada “meledek.” Saya cuma nyengir. Dia mengatakan itu dalam beberapa kesempatan yang berbeda, langsung di depan saya.
Memang, sebelum nama Margiono muncul, sebagai Sekjen PWI Pusat, saya dianggap sebagai salah satu kandidat terkuat untuk menjadi ketua umum PWI Pusat, menggantikan Tarman Azam yang masa kepengurusan priode keduanya bakal habis.
Di tengah keadaan seperti itu, konstelasi berubah drastis. Mirip-mirip situasi bangsa kita saat ini. Waktu itu ada usulan dari beberapa pihak, agar Tarman dapat dipilih lagi untuk ketiga kalinya. Padahal dalam Peraturan Dasar (PD) dan Peraturan Rumah Tangga (PRT) hal tersebut tidak memungkinkan. Menurut PD-PRT PWI, seorang hanya boleh memegang jabatan yang sama maksimal dua priode. Tarman sudah dua periode menjadi ketuan umum PWI, sehingga tertutup kemungkinan untuk menjabat lagi.
Samalah dengan Presiden Jokowi sudah dua priode memegang amanah sebagai Presiden RI, sehingga secara konstitusional dan jiwa konstitutif, tidak dapat lagi mencalonkan diri sebagai presiden. Kendati begitu ada saja yang mencoba untuk menjadikan Jokowi dapat memangku jabatan presiden untuk ketiga kalinya. Untuk itu konstitusinya harus diubah lebih dahulu.
Peta persaingan menuju pemilihan ketua umum PWI Pusat kala itu juga mirip seperti perpolitik nasional saat ini. Agar Tarman dapat terpilih untuk ketiga kalinya, ada usulan agar PD-PRT PWI diubah. Caranya, sederhana aja. Di belakang ketentuan yang menegaskan seorang pengurus tidak dapat memangku jabatan yang sama lebih dari dua kali, diberik tanda koma, dan dilanjutkan dengan lima kata, yaitu, “kecuali jika kongres menghendaki lain.”
Menghadapi hal ini, sejak awal saya termasuk yang paling keberatan. Paling menentang. Bukan lantaran saya waktu itu sedang menjadi salah satu kandidat ketua umum PWI pusat, tetapi ketentuan yang memungkinkan ketua umum PWI boleh menjabat sampai tiga periode, apalagi lebih, bagi saya, merupakan penghianatan terhadap demokrasi pada umumnya dan di PWI pada khususnya.
Seperti sebelumnya, saya kebetulan termasuk salah satu tim perumus revisi PD-PRT PWI. Dalam pembahasan Tim Perumus Revisi PD-PRT PWI, tegas saya menentang perubahan yang memungkinkan ketua umum dapat memangku jabatan lebih dari dua priode. Saya ingat anggota tim perumus dari Jawa Barat dan Jogya termasuk yang paling keras menentang revisi ini. Maka hasilnya, tak ada revisi sama sekali soal ini dalam PD-PRT PWI. Walhasil, tak mungkin lagi seorang ketua umum PWI dapat menjabat tiga priode, termasuk Tarman.
Mengetahui saya salah satu anggota yang paling ngotot tidak mengubah PD-PRT, rupanya Tarman kecewa berat kepada saya. Sejak saat itu “kemesraan” saya dengannya berakhir sudah. Lantas saya mengetahui, dimana-mana Tarman mendengungkan “ABW” untuk calon ketua umum yang baru. “ABW:” artinya Asal Bukan Wina!
Pada situasi semacam itu kebetulanlah munculah nama Margiono. Jadilah Tarman menjadi penggerak utama pendukung Margiono.
Saat itu saya sudah punya feeling dan hitung-hitungan, peluang saya untuk menang hampir tidak mungkin. Provinsi DKI saja, membagi suaranya buat saya dan Parni Hardi. Beberapa daerah langsung mengalihkan suara ke Margiono. Maka di atas kertas, saya sudah sulit menang.
Kendati begitu, saya bersikap, harus tetap meneruskan maju. Tujuan utamanya, sesungguhnya bagi saya pribadi, tidak lagi untuk meraih posisi ketua umum, melainkan untuk menjamin PD-PRT PWI tidak direvisi yang memungkinkan ketua umum PWI boleh lebih dari dua priode.
Dalam hidup saya, jika saya punya tekad, hampir selalu saya keluar sebagai pemenang. Di SMP Loyola saya berlaga dalam lomba bulutangkis. Di sekolah ini pesertanya banyak sobat saya dari keturunan etnis Tionghoa. Jelas tradisi dan kemampuan mereka bermain bukutangkis tak usah diragukan lagi. Meski begitu, melalui strategi yang tepat, waktu itu saya dapat jadi juara tunggal putera! Begitu juga ketika di SMA Sumbangsih, saya dapat menjadi Ketua OSIS sesuai harapan saya. Disana juga saya menjadi juara mengarang.
Setelah jadi wartawan, saya punya target: harus menjadi pemenang penulis kritik film. Dan saya meraihnya dua kali. Itu sekedar menyebut beberapa contoh saja.
Oleh lantaran itu saya faham benar, beda antara juara dan lainnya bagaikan bumi dan langit. Meskipun kemenangan juara cuma setipis silet, tapi dampak kemenangan luar biasa besar.
Kita tidak dapat mengatakan jumlah suara atau point kita jika dikumpulkan totalnya lebih banyak dari sang juara, sehingga sang juara harus sharing kepada kita. Juara adalah juara. Mau menang tipis, atau mutlak, tetap juara.
Dan memang waktu diadakan pemilihan ketua umum PWI, Margiono menang. Saya kalah. Seperti lirik lagu dari group ABBA yang populer pada tahun 1981:
The winner takes it all
The loser’s standing small
Beside the victory
That’s her destiny
(Pemenang mengambil semua
Yang kalah berdiri tak berarti
di samping sang pemenang
Itulah takdirnya [yang kalah])
Selanjutnya lirik lagu itu berbunyi:
The winner takes it all
The winner takes it all
So the winner takes it all
And the loser has to fall
(Pemenang mengambil semua
Pemenang mengambil semuanya
Iya, jadi pemenang mengambil semuanya
Dan yang kalah harus jatuh)
Kesadaran itu membuat saya tegar ketika dalam pemihan memang Margiono yang menang. Semua otoritas beralih ke sang pemenang. Ke Margiono.
Di kemudian hari , walaupun dalam banyak hal, saya ada tidak setuju dengan Margiono, namun saya tetap menerapkan etika sepenuhnya. Saya tidak pernah memberi komentar atau kritik apapun terhadap kepemimpinan Margiono. Saya tidak ingin pendapat-pendapat saya dinilai sebagai “balas dendam” atau “ekspresi sakit hati.” Memang fatsunnya, yang kalah sebaiknya tidak “mengutak-utik” pekerjaan yang memang. Itu tidak etis. Saya pun sengaja menjaga jarak “di luar lingkaran” Margiono.
Di luar itu, tentu saja, sebagai sesama wartawan, saya masih terus berkawan akrab dengan Margiono. Kami masih bersahabat sampai yang bersangkutan menghembuskan nafas terakhir. Saya ingin memberi contoh kepada generasi PWI berikutnya, kalah menang dalam persaingan, tidak harus membuat kita bermusuhan.
Walaupun perbedaan dampak antara yang kalah dan menang seperti langit dan bumi, saya saat itu tidak terpuruk.
Saya fokus kepada pengembangan diri sendiri. Saya misalnya mengajukan konsep PWI perlu adaya Kode Perilaku PWI sekaligus membuat draf awalnya. Selama ini Kode Etik Jurnalistik (KEJ) lebih banyak terkait dengan proses karya dan hasil karya jurnalistik saja. Sedangkan mengenai perilaku wartawannya belum ada ketentuan. Alhamdullilah, setelah dibahas kongres PWI berikutnya, Kode Perilaku PWI disahkan dan sekarang sudah berlaku, di samping KEJ.
Saya pun tetap menghasilkan banyak buku. Saya membantu memperbanyak Ahli-ahli dari Dewan Pers yang dapat tampil di muka penegak hukum. Saya masih aktif menjadi Ahli pers, dan sebagainya.
Kekelahan pasti sakit. Pasti nyeri. Dan apabila tak mampu mengelola kekalahan, kita bakal mandeg, dan bahkan bakal stress. Bukan tak mungkin jadi setengah gila atawa gilan beneran.
Kekalahan bukanlah kutukan. Kekalahan bukanlah vonis yang membelenggu kreativitas kita. Kelalahan adalah outo kritik buat kita. Kekalahan adalah pecut untuk kita lebih maju lagi. Setidaknya buat saya.
Setelah kekalahan itu, kiprah saya di dunia kewartawanan umumnya, dan PWI khusus tidak pernah surut, apalagi berhenti. Memang betul, the winner take it all, nanun tak berarti pintu menuju kejayaan kita tertutup.
Tabik*