Oleh : Wina Armada Sukardi
Sebelum Pandemi Covid-19, keluarga kami rutin mengadakan santunan dan doa bersama para anak yatim. Bisa di rumah, bisa di mesjid, terkadang pula tempat lain yang memungkinkan. Setiap ada momentum, seperti sunatan, awal mulai pelajaran baru, jelang puasa, anak diterima kerja di tempat baru dan sebagainya dan sebaginya, kami mengadakan sedekah menyantuni dan doa bersama anak yatim-piatu.
Jumlahnya berkisar antara 50 – 75 orang. Usia anak yatim-piatunya berentang jauh, dari bayi sampai murid SMA. Terkadang kami juga membatasi “hanya anak SD” atau penggolongan tertentu. Mereka berasal anak-anak yatim-piatu di sekitar lingkungan RT,RW dan kelurahan rumah kami. Mereka dapat saja anak-anak tetangga yang kami tak kenal, dapat juga dari anak-anak jemaah mesjid dekat rumah, atau dapat pula dari rumah yatim piatu tertentu.
Darimana sajalah asalnya. Tidak memandang berasal dari suku mana, tidak membedakan jender, dan bahkan sebenarnya tidak pula membedakan dari agama manapun, meski dalam kenyataannya hampir semuanya anak-anak muslim. Ini bukan karena diskriminasi, tapi sering kali anak-anak yatim- piatu dari agama lain sudah ditangani oleh pengurus agamanya masing-masing.
Lantaran sudah bertahun-tahun mengadakan hal itu, banyak di antara mereka kiwari sudah dewasa. Sudah ada yang kuliah, bahkan mungkin telah ada yang sudah punya anak. Kami tak pernah hafal siapa mereka, kecuali satu dua orang aja, itupun karena mereka sendiri yang menerangkan.
“Saya kan yang pernah ikut satunan di rumah Bapak-ibu,” kata seorang anak remaja perempuan, anak penjual gado-gado tak jauh dari rumah, ketika beberapa tahun silam kami membeli gado-gadonya. Wah, udah gede juga pikir kami.
Kalau diselenggarakan di rumah, kehadiran anak-anak itu tidak kami perlakukan sebagai pelengkap penyerta saja. Mereka kami sambut sebagai tetamu istimewa. Makan bersama-sama dan kalau pas diselenggarakan bersamaan dengan acara lain, mereka bergaul dengan sesama tamu lainnya. Jika kami ada uang lebih, sekali-dua kali bahkan mereka masing-masing dilayani oleh waiter khusus. Itulah sebuah penghormatan kami kepada mereka.
Kami menyatuni dan melakukan doa anak yatin-piatu, tak selalu dalam keadaan ekonomi berlebih. Beberapa kali bahkan manakala keuangan kami sedang pas-pasan. Herannya pasca acara itu rejeki kami malah lebih mengalir deras.
Pernah kami sudah merencanakan memberi santunan anak yatim, sekitar 50 orang. Tiap anak dapat Rp 200 ribu dan diterima dalam amplop. Selain itu mereka pulangnya disediakan berkat besek atau boks makanan untuk dibawa. Di rumah sendiri mereka kami ajak makan. Kurang lebih biaya totalnya kisaran Rp 20 jutaanlah.
Pada saat menjelang pelaksanaan, memang kami ada uang sejumlah itu, namun sebenarnya kami memerlukan uang cash itu buat sebuah keperluan lain yang cukup mendesak dalam dua tiga hari ke depan. Sedangkan uang kami lain masih tercecer di pelbagai post.
Apakah acara lebih baik ditunda atau tetap dilaksanakan? Bukankah kalau untuk uang santunan dan doa bersama dapat dilakasanakan kapan saja, dan karenanya tak apa-apa ditunda? Sebaliknya, sementara kebutuhan lain harus segera dibayar?
Berlawanan dengan “pemikiran normal,” kami memilih tetap meneruskan penyelenggaraan santunan anak yatim-piatu sesuai dengan waktu yang telah direncanakan. Alhamdullilah, puji syukur, pelaksanaaan nya berjalan lancar
Tanpa kami duga dan sangka, hanya dua hari kemudia kami dapat warta: projek yang saya pernah usahakan setahun silam, dan sudah saya lupakan karena saya anggap tak jadi, eh, ternyata oleh mitra diterima. Besoknya saya sudah boleh menerima uang sekitar 70. kali lipat.
Tanpa kami sadar, setelah memberikan satunan dan doa bersama anak yatim (dan piatu), hampir selalu ada rezeki tambahan mengalir. Tentu saja dalam memberi santunan dan berdoa bersama anak yatim-piatu, kami tak mengharapkan dapat balasan apapun, kecuali menyimpan sejumput pahala.
Kendati demikian, faktanya, selain pahala yang mungkin kami petik di akhirat kelak, bersedekah ke anak yatim-piatu, masih di dunia saja, hampir selalu sudah diberikan balasan rezeki yang jumlahnya jauh berlipat ganda. Balasan itu sulit ditebak atau analisis logika biasa. Terkadang lama baru kita sadar, tetapi juga sering dibalas kontan sehari dua hari kemudian.
Memberi santunan anak yatim-piatu dan berdoa bersama mereka, sering kali diberika rezeki bukan dalam bentuk uang, tapi bentuk lain-lainnya yang juga sering tidak kita duga. Contohnya dialami kakak, Laksamana Sukardi. M, manakala dia tertimpa “musibah” ditetapkan sebagai tersangka oleh Jaksa Agung Muda (JAM) Pidan Khsusus (Pidaus) Kejaksaan Agung dalam kasus VLCC terkait Pertamina. Selain upaya-upaya yuridis dan politis, yang dilakukannya setiap hari, ya setiap hari, berdoa bersama puluhan anak yatim-piatu di rumahnya dan menyantuninya.
Disinilah dashyat menyantuni atawa bersedekah dan berdoa bersama anak yatim-piatu. Entah bagaimana cara, tiba-tiba diketahui dan ramai diberitakan JAM Pidsus yang menangani perkara ini memiliki kontak dengan terdakwa korupsi Artalyta alias Ayun. Memang JAM Pidsus itu tak sempat diperiksa apapun oleh instansinya, tapi dengan peristiwa itu dia seperti kehilangan legitimasi moral untuk melanjutkan memeriksa kakak saya, apalagi tak lama berselang dia sendiri memang dirotasi dari jabatannya.
Laksamana terus menyantuni anak yatim-piatu dan terus pula berdoa bersama mereka. Warta baik datang lagi. Dalam Peninjauan Perkara (PK) kasus VLCC telah diputuskan Mahkamah Agung (MA) : terbukti tak ada kerugiaan negara. Sebaliknya negara diuntungkan 30 juta dolar!
Santunan dan doa bersama anak yatim-piatu tiap hari tetap dilaksanakan. Pada puncaknya, adanya putusan PK MA tersebut membuat Kejaksaan Agung memutuskan menetapkan mengeluarkan SP3 atawa Surat Penghentian Penyelidikan Perkara kasus VLCC Laksamana Sukardi. Perkara ditutup.
“Berapa kalian bayar ke kejaksaan sampai berhasil memperoleh SP3 di kasus sebesar ini?” tanya beberapa teman dekat.
Mau tahu jawabannya? Nol! “Tidak sepeserpun!” tandas saya mewakili kakak kepada para teman, dan kenalan.
Lho kok bisa? Inilah dahsyatnya beraedekah atawa menyantuni dan doa anak yatim-piatu.
Mau coba?
Tabik.*