Oleh : Wina Armada Sukardi
“Stop….stop… Banting!!” teriak beberapa anak di jalanan yang sedang bermain bola.
Ya, dulu manakala saya kecil, kami bermain bola di jalanan. Benar-benar di jalanan.
Saya semasa kecil tinggal di Jalan Cilosari, Cikini, Jakarta Pusat. Tempat tinggal kami masih dikatagorikan sebagai “daerah Menteng”, sehingg kami anak-anak daerah di situ masih termasuk yang disebut “Anak Menteng.”
Keadaan lingkungan daerah rumah kami kala itu tentu amat berbeda dengan keadaan sekarang. Waktu itu, jangankan tetangga satu jalanan, tetangga satu RW saja kami masih saling mengenal. Anak-anak di lingkungan pun pasti berteman satu sama lainnya. Kehidupan dan penghidupan saat itu masih sangat guyub.
Zaman itu jalanan belum ramai. Mobil yang lewat pun masih jarang. Maka ketika kami kecil, kami masih dapat bermain bola di jalanan dengan bebas.
Bolanya disebut “bola bliter.” Bola kulit seperti sekarang, tetapi tutupnya masih diikat dengan tali, ala tali sepatu. Bola dengan lobang kecil untuk dipompa seperti sekarang, baru ada belakangan.
Seragam kesebelasan bola masih langka. Untuk membedakan dua kesebelasan yang bertanding, kami lebih sering menandainya dengan kesebelasan “memakai baju” dan kesebelasan “membuka baju”.
Gawangnya dibuat dari tumpukan apa saja, yang diletakan di sisi kiri dan kanan. Dan mainnya nyeker alias tanpa alas kaki.
Ketika sedang main, sesekali ada mobil lewat. Ketika mobil lewatlah itulah permainan dihentikan sementara. Setelah itu pertandingan dilanjutkan dengan cara bola “dibanting” tanda pertandingan dimulai.
Durasi pertandingan pun tidak dihitung khusus. Pokoknya kalau mau berhenti, ya berhenti begitu saja.
Pola kehidupan “Anak Menteng” kala itu masih “komunal,” walaupun bukan dalam pengertian “komunal” di masyarakat tradisional. Kami mengenal satu dengan lainnya dengan baik. Bermain bersama. Pada masa itu tidak begitu membedakan stratifikasi sosial atau kelas ekonomi, atau latar belakang suku serta agama. Semuanya relatif hidup selaras dan damai.
Namanya anak-anak pastilah ada saja yang berkelahi. Tetapi perkelahian biasanya terbuka satu lawan satu. Malah dalam berkelahi sudah seperti gaya UFC sekarang. Satu anak memiting anak yang lain sambil memukulnya dan bertanya, “ampun gak loe? Ampun gak loe?” Kalau lawannya belum menyerah minta ampun, perkelahian tetap berlanjut. Sebaliknya kalau lawannya bilang,”ampun, ampun,” perkelahian selesai. Dua tiga hari kemudian mereka sudah damai lagi dan bermain bersama. Tak ada dendam dan iri hati.
Tata nilai saat itu memang dapat dipastikan jauh berbeda dengan tata nilai zaman kiwari. Pada masa itu mobil masih jarang, tetapi dari yang jarang itu pun, kami masih sering menemukan mobil yang mogok di jalanan. Maklumlah, saat itu belum banyak bengkel servis mobil rutin, dan mesin mobil masih mekanik murni tanpa komputer.
Biasanya jika ada mobil mogok, dan setelah dikutak-katik mesin tetap tak hidupnya juga, mobil tersebut akhirnya harus didorong. Dan kami anak-anak yang ada di dekat mobil tersebut, bakal ramai-ramai ikut mendorong mobil itu.
Greeengggg…..greeenggg…..greeeengg ….
Manakala mesin mobil mulai hidup, pertanda mobil sudah dapat jalan lagi, kami anak-anak yang ikut mendorong mobil, malah cepat-cepat berlari menjauh dari mobil.
Lho kok malah lari menjauh dari mobil? Ada apa rupanya? Disinilah keikhlasan anak-anak Menteng waktu itu. Biasanya setelah didorong dan mesin mobil hidup lagi, pengemudi akan keluar dari mobil dan berniat memberikan “upah” kepada anak-anak yang membantu mendorong mobilnya.
Nah, kami tahu kebiasan pengemudi mau memberkan upah ini, dan oleh karena itu kami justeru mengambil langkah seribu menghindari pemberian itu. Kami bakal berlari menjauh dan berteriak-teriak “Gak usah Oom….gak usah, Oom!!”
Tata nilai “komunal” yang kami anut saat itu, keikhlasan dalam menolong orang (yang mobilnya mogok) sudah menyatu dalam kehidupan sehari-hari anak Menteng. Menerima imbalan dalam memberikan pertolongan seperti sebuah aib. Menerima imbalan dalam menolong seperti menghilangkan keikhlasan.
Kami menolong tanpa pamrih ingin mendapat sesuatu. Bukan menolong ingin dapat upah. Keikhlasan, kerelaan dan hati yang bersih nmasih menjadi bagian kehidupan sehari-hari “Anak Menteng” waktu itu….
Tabik.*