JAKARTA, WB – Rumah Produksi Warna Picture membingkai peristiwa fenomenal Aksi Bela Islam 212 menjadi sajian menarik dalam bentuk film berjudul “The Power of Love”. Jastis Arimba selaku produser dan sutradara mengemasnya tanpa sentuhan politis, SARA, dan intoleransi.
Aksi bela Islam 212 yang merupakan hajat besar umat Islam Indonesia di pengujung tahun lalu menuai pro dan kontra di berbagai kalangan. Berbagai pemberitaan media arus utama mengenai aksi tersebut, dibalut dengan pembingkaian yang berbeda sehingga tak jarang komentar miring seperti makar, anti Pancasila, pemecah belah NKRI dan lain sebagainya muncul dari bibir masyarakat.
“The Power of Love”, sebuah karya yang dipersembahkan oleh Rumah Produksi Warna Pictures berusaha mengungkap fakta dibalik peristiwa 212. Peristiwa yang takan terlupakan itu akan ditampilkan secara objektif dengan mengisahkan perjalanan seorang jurnalis yang terjebak dalam perjalanan aksi 212.
Produser sekaligus Sutradara “The Power of Love”, Jastis Arimba mengatakan dirinya optimis film ini nantinya akan diterima dengan baik oleh masyarakat sebab tak ada satupun unsur politis, SARA, dan intoleransi yang dituangkan dalam film ini.
“Kami sih yakin, karena film ini sepenuhnya mengangkat citra Islam yang sesungguhnya, yaitu cinta,” katanya.
Pria yang lebih dikenal dengan karya film dokumenternya ini melanjutkan, tak ada segmentasi khusus dari film yang sedang digarapnya ini, justru dirinya ingin semua masyarakat menonton sehingga dapat melihat jatidiri Islam sesungguhnya.
“Tidak ada segmen khusus, semua ‘wajib’ nonton, supaya tahu ini lho Islam Rahmatan lil Alamin,” lanjut Jastis.
Aktor senior, Fauzi Baadila dipercaya menjadi pemeran utama, didampingi Adhin Abdul Hakim, Hammas Syahid Izzudin, Asma Nadia, Meyda Sefira, Cholidi Assadil Alam, dan Ustadz Erick Yusuf sebagai konsultan.
Oji, begitu panggilan akrab Fauzi, mengatakan dirinya berani mengambil peran utama sebab ia ingin dengan tegas memposisikan dirinya sebagai seorang muslim. “Tertarik pertama karena saya Muslim,” katanya.
Selain itu Oji berpesan bahwa dari peristiwa ini terdapat hikmah bahwa seorang muslim wajib memiliki prinsip. “Ada kalanya kita harus berprinsip, jangan abu-abu,” tandasnya.
Konsultan Produser “The Power of Love”, Ustadz Erick Yusuf mengatakan bahwa dakwah semestinya dilakukan dalam bentuk apapun termasuk film. Baginya film ini merupakan upaya menyampaikan syiar Islam, upaya mendobrak fitnah yang selama ini berkembang di kalangan masyarakat mengenai aksi-aksi yang dilakukan umat Islam.
“Dakwah lewat film ini sudah tepat, lewat film ini kita sampaikan fokus permasalahan yaitu toleransi dimana ada pasangan kristiani yang menikah saat aksi berlangsung, aksi menjaga lingkungan dimana tidak ada satu tanaman pun yang dirusak saat itu, dan yang terbesar adalah sholat jumat yang dilakukan oleh lebih dari 7 juta orang, itu masya Allah,” kata Ustadz Erick.
Film ini akan mulai diproduksi setelah Idul Fitri dan ditargetkan untuk ditayangkan di Bioskop pada bulan Desember 2017. Para kru berharap film ini dapat menginspirasi dan diterima secara luas oleh para pecinta film di Indonesia.
Secara garis besar, narasi film mengikuti tokoh jurnalis muda yang awalnya meragukan rangkaian aksi sejumlah organisasi massa Islam. Namun kemudian mengalami perubahan sikap setelah menemani ayahnya yang mengikuti salah satu aksi tersebut.
“Aksi 212 sebenarnya hanya (sebagai) background saja. Cerita yang ingin disampaikan cerita cinta. Perjalanan seorang anak dan bapak yang akhirnya menjadi perjalanan penuh cinta, yang sangat bersejarah bagi mereka. Awalnya bermusuhan luar biasa,” kata Jastis Arimba dalam jumpa pers di Abuella Cafe, Cilandak, Jakarta Selatan, Selasa (23/5/2017).
Skenario ditulis oleh Jastis bersama Ali Eunoia. Jastis juga menjadi produser sekaligus sutradara. Helvy Tiana Rosa dipercaya untuk supervisi naskah. Sementara, Ustaz Erick Yusuf menjadi produser konsultasi. Produksi dilakukan di bawah naungan Warna Pictures. Dana yang dianggarkan berkisar antara Rp1-5 miliar.
Fauzi Baadila menjadi pemeran utama. Ustaz Erick juga turut menjadi pemeran pendukung, bersama Asma Nadia adik Helvy, Adhin Abdul Hakim, Hammas Syahid, Meyda Sefira, dan Cholidil Assadil Alam.
“Saya lebih dari tertarik, sangat tertarik, bergabung di produksi ini. Peran (saya) sebagai Rahmat. Saya mungkin mewakili umat Muslim yang kadang masih abu-abu. Ada kalanya kita harus berprinsip, bersikap, kalau ada suatu keadaan-keadaan tertentu,” kata Fauzi.
Tokoh Rahmat adalah jurnalis yang meyakini bahwa serangkaian aksi massa terkait polemik rekaman pidato Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama di kepulauan Seribu, hanyalah aksi yang ditunggangi oleh gerakan politik semata demi perebutan kekuasaan.
Sementara, ayahnya yakin bahwa aksi tersebut merupakan wujud kecintaan dan pembelaan terhadap agama Islam. Ayah Rahmat adalah pemuka agama di kampung halaman yang dikenal keras dan konservatif.
“Rahmat itu sosok karakter fiktif yang saya buat, yang latar belakangnya ada dalam kisah-kisah personal yang saya temukan di 212,” ujar Jastis.
Setelah ibunya meninggal, Rahmat harus pulang ke kampung. Dia bersitegang dengan ayahnya yang memaksa diri ingin ikut aksi lanjutan pada 2 Desember 2016. Ayah Rahmat bahkan menggerakkan massa untuk pergi ke Jakarta.
“Pada akhirnya, Rahmat mau tidak mau terjebak dalam situasi, sebagai anak, dia harus menjaga bapaknya. Sebagai anak satu-satunya, lihat bapaknya udah tua, sebenci-benci anak terhadap orangtua, dia memutuskan untuk menemani (ayahnya melakukan aksi di Jakarta),” kata Jastis. []