WARTABUANA – Meriahkan HUT Proklamasi Republik Indonesia ke 78, Gema Citra Nusantara (GCN) dan Papatong Artspace menggelar teater musikal “Keumalahayati- Laskar Inong Balee” pada 12 dan 13 Agustus 2023 pukul 19.00 WIB, di Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Sebelumnya, pementasan serupa digelar pada 19 Maret 2022 lalu, di tempat yang sama.
Pagelaran “Keumalahayati- Laskar Inong Balee” yang disutradarai Teuku Rifnu Wikana dan Krisna Aditya ini menghadirkan pemain utama antara lain Haikal AFI 2, Teuku Rifnu Wikana, dan Karissa Soerjanatamihardja, di samping nama-nama lainnya, seperti seniman senior Aceh, Marzuki Hasan, Junio Ferandez, Yan Wibisono, Beyon Destiano, Fachrizal Mochsen, dan empat sahabat Keumalahayati yakni Nanda Dian Utami, Nadya Devina, Kartika Desma, Jeyhan Safiana.
“Secara konsep ide cerita Keumalahayati masih sama seperti pertunjukan perdana. Terfokus kepahlawanan Keumalahayati dari sudut pandang cinta seorang perempuan dengan segala kewajaran,” kata Teuku Rifnu Wikana.
Namun dalam konteks artistik dan tata panggung terlihat ada perubahan signifikan. Di mana dalam pementasan lalu, fungsi layar besar di atas panggung hanya sebagai background visual. “Sekarang kita memakai konsep 3 layer multimedia. Jadi kita membelah ruang, membelah kedalaman dan lebih memungkinkan menghadirkan panggung sebagai lautan, panggung adalah kapalnya Cornelis de Hotman dan musik ditampilkan secara live oleh Batavia Chamber Orchestra membuatnya semakin hidup,” ungkap Khrisna Aditya.
Panggung Artistik
Alur kisah dimulai setelah suami Keumalahayati, Laksamana Zainal Abidin, gugur dalam peperangan. Keumalahayati mengusulkan kepada Sultan Aceh untuk membentuk pasukan yang terdiri dari janda prajurit Aceh yang gugur dalam peperangan yang disebut Inong Balee. Permintaan itu dikabulkan dan ia diangkat sebagai pemimpin pasukan Inong Balee.
“Cinta inilah yang menjadi pemantik perjuangan Keumalahayati dan Laskar Inong Ballee. Karena cinta terhadap tanah air, Keumalahayati rela bertaruh nyawa dalam sebuah pertempuran untuk mengusir Cornelis dan Federick De Houtman,” kata Teuku Rifnu lagi.
Tim kreatif panggung terdiri dari nama-nama tenar, seperti Gema Sedatana (Penulis Naskah), Leodet (Music Composer), Jufrizal dan Asep Supriyatna (Penata Musik Tradisional), Wiwik HW (Koreografer), Helen Nanlohy (Vocal Coach), Endro Sukmono (Fighting Coach), Bulqini (Scenografer), Mamed Slasov (Lighting) benar-benar memaksimalkan kerja untuk menghasilkan nuansa artistik panggung terlihat paripurna; kadang pilu mencekam, sekaligus bisa mengharu biru dan memercik kebanggaan penuh senyum.
Panggung dibuka dengan suasana gelap, perlahan pada layar besar terlihat permainan multimedia sebaga ekspresi seni dalam satu panggung, yang dilengkapi konsep musikal utuh, di mana suara penyanyi membawakan aria, libretto dan recetativo, ditambah tarian tradisi kontemporer.
Tayangan multimedia yang tersaji menjadi estetika visual, yang tidak sekadar sebuah tempelan. Terutama pada bagian yang memperlihatkan lautan dan kapal-kapal perang, suasana sendu dan mencekam tatkala Keumalahayati diam-diam menangis dan meratap di dalam hutan, sehabis suaminya dinyatakan gugur di medan laga, juga ruang -ruang dalam Kerajaan di mana Sultan Aceh berkuasa.
Pentas berbasis seni tari dan musik tradisi Aceh dikemas secara modern memperlihatkan peran Inong Balee yang dimainkan para Penari dari GCN yang memuculkan tiga tarian khas Aceh dalam koreografi baru yakni Tari Ranup Lampuan, Rencong dan Ratoh Kipah. Ketiganya merupakan tarian penting di Aceh, dan masing-masing punya makna berbeda. Tari Rencong misalnya, bercerita tentang semangat perempuan Aceh dalam memperjuangkan nilai hakiki kehidupan serta martabat dan keagungan manusia sebagai mahluk Tuhan.
Di atas panggung, kekuatan GCN sebagai kelompok tari, sangat menonjol terutama terlihat pada bagian dimunculkan perang kolosal yang dimainkan dalam koreografi tari apik di tengah kostum Aceh berwarna hitam dengan tambahan kain songket orange menyala.
Mira Arismunadar sebagai Executive Produser dari GCN menyebut, “pada panggung Keumalahayati kali ini, kami melibatkan make up artist dari para Sahabat Tuli yang merupakan hasil binaan Yayasan Perempuan Tangguh Indonesia.”
Panggung acara yang mendapat dukungan Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia ini juga telah mendapat restu dari ahli waris keluarga Keumalahayati yakni Pocut Meurah Neneng dan Teuku Abdullah Sani yang khusus hadir menjadi penonton.
“Drama musikal ini menjadi kebanggan besar bagi keluarga kami. Di mana sosok Keumalahayati sebagai Perempuan Aceh yang sangat pintar dan berani mau diangkat dan diperkenalkan kembali, agar sosoknya dikenali oleh generasi muda!” ungkap Pocut Meurah Neneng.
Ahli Sejarah Mawardi Umar dari Banda Aceh yang duduk menyaksikan acara, menyebut sosok kepahlawanan Keumalahayati (01 Januari 1550 – 30 Juni 1615) memang sangat fenomenal.
Keumalahayati memimpin 2.000 Inong Balee berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda pada tanggal 11 September 1599, di saat itu ia sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal. Keumalahayati mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya, sehingga ia dikenal dengan nama Laksamana Keumalahayati .
“Memang betul, terkesan ada keterlambatan waktu untuk menokohkan Keumalahayati sebagai Pahlawan Nasional. Tapi untuk proses pengukuhan Pahlawan itu kan memang diperlukan proses yang panjang!” tutup Mawardi Umar.[]