Gambar tak bertanggal yang disediakan oleh Game Science ini menunjukkan Raja Kera atau Sun Wukong, salah satu karakter paling ikonik dalam fiksi global, dari gim video “Black Myth: Wukong”. (Xinhua)
BEIJING, 2 September (Xinhua) — Karakter Buddha tanpa kepala dalam sebuah gim video terlaris di China secara tidak terduga menjadi perdebatan baru tentang sebuah topik yang sangat menarik di seluruh dunia, yakni repatriasi seni.
Sosok Buddha dalam gim video “Black Myth: Wukong” mengembara tanpa kepala di lehernya, tetapi mengenakan berbagai kalung, dan pada akhirnya mengungkap bahwa dirinya adalah Bodhisattva Lingji.
Dianggap sebagai gim “Triple-A” pertama yang dikembangkan di China, “Black Myth: Wukong” terinspirasi dari novel klasik China bertajuk “Perjalanan ke Barat” (“Journey to the West”). Kisah ini menceritakan tentang petualangan seorang biksu dan ketiga muridnya, dengan berfokus pada Sun Wukong (Sun Go Kong), Raja Kera legendaris yang dikenal karena kekuatan supernatural dan sifatnya yang nakal.
Penggambaran Lingji telah memicu banyak diskusi yang menghubungkan narasi fiksi dengan isu-isu di dunia nyata. Beberapa orang berpendapat bahwa kepala Buddha tersebut dijarah dan saat ini disimpan di British Museum. Hal ini memicu kembali perdebatan mengenai repatriasi kekayaan budaya, dengan para warganet yang membandingkan citra gim itu dengan patung-patung Buddha tanpa kepala yang sebenarnya berasal dari gua-gua dan museum di China.
Namun, Bodhisattva Lingji sebenarnya merupakan karakter fiksi dalam kisah “Journey to the West”, dan tidak ada dokumen sejarah yang dapat diandalkan atau temuan arkeologi yang membuktikan bahwa dia ada di dunia nyata, menurut sebuah artikel yang diunggah oleh Akademi Sejarah China di situs mikroblog China, Weibo.
Kendati demikian, pencurian atau penjarahan patung-patung Buddha dan banyak peninggalan budaya China yang bersejarah dan berharga benar-benar sangat nyata.
Menurut Chinese Society of Cultural Relics, lebih dari 10 juta artefak China telah dipindahkan ke luar negeri sejak peristiwa Perang Candu pada 1840, karena peperangan dan perdagangan gelap.
“Terlalu banyak kepala yang diambil oleh Pasukan Aliansi Delapan Negara (Eight-Power Allied Forces) dan para penjahat perang yang menginvasi China. Banyak situs patung Buddha di negara kami tidak memiliki kepala dan lengan,” tulis seorang warganet dengan nama pengguna dongyin373 di YouTube di bawah video adegan potong (cutscene) karakter Buddha tersebut.
“Suatu hari nanti, peninggalan budaya kita akan kembali ke rumah, peninggalan yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita untuk kita,” tulis seorang warganet bernama Huochetou di WeChat.
Sebuah video wawancara dengan bangsawan Inggris, Lord Nicholas Monson, yang diunggah oleh seorang pengguna bernama XiaominggeDonLee di platform media sosial populer Douyin, menunjukkan sikapnya terhadap repatriasi karya seni. “Cara yang seharusnya dilakukan adalah melalui pendekatan diplomatik sehingga Inggris menawarkan dan China dengan ramah menerima semua artefaknya kembali. Saya pikir itu akan sangat bagus,” ujarnya.
Selama beberapa dekade terakhir, China menggunakan pendekatan berlapis untuk mendapatkan kembali artefak-artefak yang hilang, yang terdiri dari kerja sama penegakan hukum, diplomasi, tuntutan hukum, dan negosiasi.
Upaya-upaya yang tak tergoyahkan ini, didukung dengan kerja sama global yang semakin intensif, menghasilkan kemajuan besar, dengan lebih dari 150.000 artefak diambil melalui 300 lebih misi repatriasi sejak berdirinya Republik Rakyat China pada 1949.
“Kembalinya setiap peninggalan budaya menceritakan sebuah kisah yang terlihat tenang di permukaan, tetapi mengungkapkan sebuah perjalanan yang penuh lika-liku jika dicermati lebih dalam,” tulis seorang warganet bernama Shuishui di WeChat.
Para pakar menunjukkan berbagai kesulitan dalam repatriasi artefak seni dan budaya. “Konvensi internasional hanya efektif untuk pihak-pihak yang berkontrak, tetapi banyak negara-negara Eropa dan Amerika, sebagai importir peninggalan budaya, berada di luar konvensi tersebut,” ungkap Wang Kaixi, seorang profesor di Fakultas Sejarah, Beijing Normal University.
“Pembelian kembali secara komersial dipandang sebagai cara yang memainkan peran besar dalam pengembalian peninggalan budaya China dari luar negeri,” kata He Yun’ao, kepala lembaga warisan budaya dan alam Universitas Nanjing. “Namun, biayanya sangat tinggi dan pembelian kembali kemungkinan akan mendorong komunitas internasional untuk menaikkan harga peninggalan budaya yang dijarah.”
Dia menyarankan investasi dalam restorasi digital. “Teknologi digital dapat digunakan untuk menyatukan fragmen-fragmen peninggalan budaya China yang tersebar di luar negeri, sehingga dapat mengembalikan tampilannya secara utuh dan membuktikan asal-usul peninggalan budaya tersebut,” tuturnya. [Xinhua]