RAMALLAH – Bagi sebagian orang, ular berukuran besar dan berbahaya seperti sanca adalah reptil yang harus ditakuti. Namun, Mohammed Nassri, seorang warga Palestina berusia 20 tahun yang tinggal di Tepi Barat, sukses menjinakkan beberapa jenis ular paling berbahaya di dunia dan mengubahnya menjadi sumber penghasilan yang layak.
Seekor anaconda hijau, ular jagung, kobra India, sanca Burma, dan puluhan ular berbisa maupun tidak berbisa lainnya hidup berdampingan di rumahnya.
Semuanya ditempatkan di dalam sebuah ruangan besar yang dibangun di luar rumahnya. Dia memberi makan kepada setiap ular dengan jenis pakan yang sesuai dan mengatur suhu yang diperlukan bagi pertumbuhan mereka.
“Ketika saya baru berusia 12 tahun, saya membeli ular kecil pertama saya. Itu jenis ular jagung sepanjang 30 sentimeter dengan harga 50 dolar AS (1 dolar AS = Rp14.255) yang saya beli menggunakan uang tabungan selama beberapa bulan,” tutur pemuda itu kepada Xinhua, sambil melilitkan seekor ular kuning di pundaknya.
Ketika itu, akunya, dia belum tahu cara merawat ular. Jadi dia menjelajahi internet untuk mengumpulkan informasi.
“Saya menonton puluhan film tentang reptil, ular, dan sanca, serta bagaimana kita menghadapi mereka tanpa harus menempatkan diri kita dalam bahaya,” kenangnya.
Kerja keras Nassri terbayar kala “sahabat kecil”-nya itu tumbuh semakin besar hingga mencapai panjang 70 sentimeter. Sayangnya, reptil itu kemudian mati, meninggalkan kekecewaan dan kesedihan di hati sang pemilik.
“Saya merasa seolah kehilangan salah satu sahabat baik. Saya sering menangis waktu itu, tetapi saya memutuskan membeli satu ular lagi, dan memeliharanya lebih lama sampai tumbuh menjadi lebih besar dari ular jagung yang pertama,” tuturnya.
Nassri menghabiskan satu tahun penuh untuk menabung uang dan membeli seekor ular sanca Burma yang tidak berbisa. Ular itu hanya sepanjang 60 sentimeter, tetapi dengan makanan dan kondisi lingkungan yang baik, panjangnya dapat mencapai 4 meter.
“Saya menjualnya seharga 1.300 dolar AS dan saya dapat menghasilkan ratusan dolar ketika saya berusia 15 tahun. Sungguh perasaan yang luar biasa bagi saya dan saya sangat bangga pada diri sendiri,” katanya.
Saat itulah Nassri menyadari dia dapat mengubah hobinya menjadi peluang usaha. Awalnya, dia membeli ular tikus (chicken snake), yang dipelihara selama berbulan-bulan sebelum menjualnya dan menghasilkan sekitar 5.000 dolar AS dari penjualan itu.
Kemudian, agar menjadi “unik dan istimewa”, dia memutuskan untuk membeli jenis-jenis ular terberat dan paling berbahaya, seperti ular sanca anaconda, ular sanca batu, dan ular sanca batik. Tak berhenti di situ, dia juga membeli kobra India dan puluhan ular lainnya.
“Saat ini, saya memiliki sepuluh ular besar, serta puluhan ular kecil dan saya telah berhasil menjinakkan semuanya,” ujarnya.
Untuk memberi makan ular-ular tersebut, mahasiswa administrasi bisnis di Universitas Birzeit itu mendirikan sebuah peternakan kecil tempat dia memelihara tikus dan kelinci untuk pakan reptil-reptilnya..
Namun, impian Nassri tak berhenti sampai di situ. Saat ini dia berencana untuk memelihara ular berbisa dan menggunakan racunnya untuk tujuan medis, terutama untuk mengembangkan penawar bisa ular.
Kendati demikian, mimpi itu terbentur oleh realitas Palestina saat ini. Pasalnya, tidak ada laboratorium ilmiah yang akan mengekstrak antibodi dari bisa ular di negara tersebut.
“Jika kita punya teknik untuk mengekstrak bisa ular, kita dapat menjualnya dengan harga minimal 4.000 dolar AS per gram,” ucap Nassri disusul senyuman.
Sepuluh tahun dari sekarang, dia bercita-cita untuk mendirikan peternakan sendiri dengan namanya. Peternakan itu nantinya akan dihuni segala jenis hewan dan reptil yang unik. Pemuda itu juga berharap tempat itu dapat menjadi objek wisata. [Xinhua/ Sanaa Kamal]