TANAMAN KEMAKMURAN
Agnes Ayinkamiye merupakan koordinator pertama proyek Juncao di Rwanda.
“Salah satu hal yang membuat saya sangat senang adalah bagaimana kami membantu orang lain. Proyek ini diterima dengan baik, dan kami melatih banyak orang, khususnya koperasi perempuan dan kelompok pemuda,” katanya. “Saya sangat menikmati pekerjaan saya dan gembira bisa bekerja sama dengan para ahli.”
“Orang-orang dapat memperoleh penghasilan melalui teknologi Juncao, dan teknologi ini menjadi cukup populer,” tambah Ayinkamiye.
Lin menyebutkan bahwa sekitar 4.000 rumah tangga di Rwanda telah memperoleh manfaat dari teknologi ini, dengan beberapa di antaranya mengalami peningkatan pendapatan sebanyak dua kali lipat atau bahkan tiga kali lipat selama beberapa tahun.
Lin Zhanxi (kanan), profesor dari Universitas Pertanian dan Kehutanan Fujian China, mengunjungi sebuah gudang pembudidayaan jamur di Kigali, Rwanda, pada 2 Agustus 2024. (Xinhua/Ji Li)
“Teknologi Juncao terjangkau … Teknologi ini diterapkan sedemikian rupa sehingga membuatnya terjangkau bagi masyarakat di tingkat yang sangat lokal, yang saya yakini merupakan manfaat utamanya,” ujar Earle Courtenay Rattray, chef de cabinet Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Seruwaia Kabukabu, seorang wirausahawan di Desa Serea, Provinsi Naitasiri, Fiji, merupakan salah satu perempuan yang dilatih di pusat demonstrasi Juncao di Nadi, kota terbesar ketiga di Fiji.
“Setelah pelatihan, kami semua menerima beberapa kantong substrat jamur secara gratis dari pusat itu. Di bawah bimbingan para ahli teknis, kami mulai memanen dan menjual jamur dalam waktu 7-10 hari, menghasilkan uang untuk keluarga kami,” ujar Kabukabu.
Pendapatan dari proyek Juncao memungkinkannya untuk meningkatkan taraf hidup keluarganya dengan membeli peralatan esensial, membangun sebuah toilet dan kamar mandi beton, dan bahkan berkontribusi bagi proyek air bersih di komunitasnya.
“Fiji menghadapi banyak masalah mulai dari isolasi geografis, kerentanan terhadap bencana alam akibat perubahan iklim yang menghambat pertanian, serta pembangunan berkelanjutan dan ketahanan pangan,” sebut Kabukabu.
Selama satu dekade terakhir, lebih dari 2.400 orang di Fiji telah menerima pelatihan tentang teknologi Juncao, dengan area budi daya Juncao di Fiji melampaui 2.000 hektare.
“Mudah dipelajari dan efektif diterapkan,” tutur Lin, seraya menekankan bahwa teknologi Juncao harus menurunkan ambang batas penerapan teknisnya di luar negeri “sehingga petani yang paling miskin sekalipun dapat terlibat.”
Hingga saat ini, hampir 350 lokakarya internasional telah melatih lebih dari 14.000 orang dalam teknologi Juncao, dengan makalah pengantar kini tersedia dalam 18 bahasa untuk penggunaan global.
EKSPERIMEN YANG TIDAK PERNAH BERAKHIR
Selain membudidayakan jamur, teknologi Juncao terus berinovasi, memperluas produksinya hingga mencakup pakan dan pupuk.
Sejak menggunakan Juncao sebagai pakan ternak, Tahiya Massawe, seorang petani di Bumbwi Sudi, Tanzania, mengamati adanya peningkatan kepadatan dan nutrisi susu serta peningkatan produksi susu.
“Juncao juga menghemat uang saya,” ungkapnya kepada Xinhua, “karena anggaran yang sebelumnya saya keluarkan untuk pakan lain kini dapat dihemat dengan menggunakan rumput ini.”
Para petani memperbanyak Juncao dan menggunakannya di lahan pertanian mereka. Banyak testimoni menunjukkan bahwa para petani telah menerima teknologi ini hanya karena pakannya kaya, ujar Makame Kitwana, direktur Perencanaan, Kebijakan, dan Penelitian di Kementerian Pertanian Tanzania.
“Dalam sejumlah hal, secara ilmiah, telah (terbukti) bahwa kandungan protein serta kandungan karbonnya tinggi, membuat ternak lebih puas saat mengonsumsi rumput Juncao dibandingkan dengan rumput lainnya,” sebutnya.
Nyambo Obed menunjukkan jamur-jamur yang dibudidayakan di sanggar kerjanya di dekat Muhanga di Provinsi Selatan, Rwanda, pada 6 April 2024. (Xinhua/Dong Jianghui)
Juncao juga dapat membantu pengelolaan ekologis.
Erosi tanah telah menjadi masalah serius di negara-negara seperti Rwanda. Para pejabat Rwanda dahulu khawatir bahwa jika masalah tanah tidak dapat diatasi, Rwanda tidak akan memiliki lahan untuk ditanami. Lin selalu mengingat kekhawatiran mereka.
Dia masih ingat data eksperimental di Rwanda dalam kunjungannya lebih dari satu dekade lalu. Pada suatu hari, curah hujan selama dua setengah jam mencapai 51,4 milimeter. Semua hujan ditangkap oleh rumput raksasa (Juncao), dan itu sangat efektif dalam konservasi air dan retensi tanah.
Pada Februari di Fiji, Lin juga berupaya menerapkan teknologi Juncao untuk pengelolaan tanah salin, yang bertujuan untuk mencari solusi tambahan guna memerangi perubahan iklim bagi negara-negara berkembang, termasuk negara-negara Kepulauan Pasifik.
“Hasil eksperimentalnya sangat menjanjikan,” papar Lin. “Juncao adalah rumput kebahagiaan, hadiah dari China untuk semua.” Selesai