Lin Zhanxi (pertama dari kanan) dari Universitas Pertanian dan Kehutanan Fujian China memperkenalkan teknologi Juncao kepada para mahasiswa Afrika di Fuzhou, Provinsi Fujian, China tenggara, pada 2 November 2018. (Xinhua/Wei Peiquan)
Hingga saat ini, hampir 350 lokakarya internasional telah melatih lebih dari 14.000 orang dalam teknologi Juncao, dengan makalah pengantar kini tersedia dalam 18 bahasa untuk penggunaan global.
“Hasil eksperimentalnya sangat menjanjikan,” papar Profesor Lin Zhanxi. “Juncao adalah rumput kebahagiaan, hadiah dari China untuk semua.”
KIGALI/FUZHOU, 28 Agustus (Xinhua) — Cuaca di Rwanda pada awal Agustus terasa hangat dan kering, dan para petani muda di Provinsi Selatan merayakan panen yang melimpah. Tangan mereka tidak menggenggam jagung atau padi, tetapi jamur, yang dibudidayakan dengan bantuan teknologi yang ditransfer dari sebuah negara yang lokasinya sangat jauh ke “negeri seribu bukit” di Afrika tersebut.
Turut hadir dalam perayaan itu adalah Profesor Lin Zhanxi. Sejak 1980-an, ilmuwan berusia 80-an tahun tersebut telah memimpin tim penelitian terkait teknologi Juncao di Provinsi Fujian, China tenggara. Teknologi rumput hibrida ini memungkinkan jamur tumbuh di atas substrat berbasis rumput alih-alih pohon yang telah ditebang, sebuah solusi bagi ancaman industri jamur terhadap hutan.
Nama tanaman itu berarti “jamur” dan “rumput” dalam bahasa Mandarin. Keserbagunaannya merupakan fitur utama, yang memungkinkannya ditanami jamur yang dapat dikonsumsi, menyediakan pakan ternak, dan membantu memerangi desertifikasi.
Berkat promosi yang aktif dan visioner oleh Presiden China Xi Jinping, Juncao berkembang pesat di dalam dan luar China, meningkatkan taraf hidup, dan mendorong pembangunan berkelanjutan di negara-negara berkembang di seluruh Asia-Pasifik, Afrika, dan Amerika Latin.
JALAN KELUAR DARI KEMISKINAN
Sebelum dikenal sebagai “bapak Juncao”, Lin dibesarkan di daerah pedesaan yang miskin di pegunungan di Fujian. Pengalaman pribadinya terkait kemiskinan sangat menentukan komitmennya terhadap teknologi Juncao.
Setelah puluhan tahun bekerja, Lin dan timnya berhasil dalam menyeleksi dan membudidayakan jenis tanaman herba dengan hasil panen yang tinggi dan tahan terhadap kekeringan dan salinitas yang dapat digunakan sebagai pengganti kayu untuk ditanami jamur yang dapat dikonsumsi dan dimanfaatkan sebagai obat-obatan.
Pada acara Konferensi Tinjauan Bantuan untuk Perdagangan Global (Aid-for-Trade Global Review Conference) kesembilan yang diselenggarakan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Jenewa pada Juni, Lin merefleksikan bagaimana teknologi Juncao mengawali perjalanan globalnya. Pada 1992, Lin mempresentasikan Juncao untuk pertama kalinya kepada khalayak luas di sebuah pameran penemuan internasional, yang juga diadakan di Jenewa. Di Swiss, Lin menerima banyak panggilan untuk mempelajari lebih lanjut soal teknologi tersebut.
Lin mengenang bagaimana Xi dengan penuh semangat mendukung penggunaan sarana ilmiah dan teknologi untuk memerangi kemiskinan.
Pada 1997, Xi, yang saat itu menjabat sebagai wakil sekretaris Komite Partai Komunis China (Communist Party of China/CPC) Provinsi Fujian, mencantumkan teknologi Juncao sebagai bagian dari upaya pengentasan kemiskinan di provinsi itu bersama Daerah Otonom Etnis Hui Ningxia di China barat laut. Setelah menerima penugasan tersebut, Lin segera mengajak timnya, serta membawa benih rumput dan jamur, ke Xihaigu, daerah yang dilanda kemiskinan di Ningxia.
Saat ini, teknologi Juncao digunakan di 31 provinsi di seluruh China dan berkontribusi signifikan dalam mengentaskan kemiskinan dan merevitalisasi area-area pedesaan.
Lin Zhanxi (kedua dari kanan) bertukar keterampilan menanam Juncao dengan sejumlah petani di Minning di Yinchuan, Daerah Otonom Etnis Hui Ningxia, China barat laut, pada 29 Maret 2021. (Xinhua/Wang Peng)
Dengan dukungan Xi, sebuah proyek percontohan untuk memperkenalkan teknologi Juncao di Papua Nugini diluncurkan pada tahun 2000, menjadikan proyek itu sebagai salah satu penerapan teknologi Juncao pertama di luar negeri.
Didorong oleh dedikasi dan semangat kepeloporan mereka, Lin dan peneliti China lainnya sejak saat itu memperkenalkan teknologi tersebut ke 106 negara dan kawasan di seluruh dunia.
Berbekal misi untuk mengentaskan kemiskinan di seluruh dunia, para ilmuwan China telah menerapkan teknologi Juncao pada beberapa lingkungan yang menantang. Di Dataran Tinggi Timur di Papua Nugini, mereka menyaksikan suku-suku yang masih mempraktikkan metode pertanian tebang dan bakar. Di Rwanda, keluarga yang tidak memiliki akses ke hewan ternak atau traktor bekerja di ladang berlumpur dengan hanya menggunakan cangkul. Di Republik Afrika Tengah, mereka mengamati dampak buruk kelaparan pascakonflik.
Selama tahun-tahun tersebut, Lin menghadapi perampokan dengan todongan senjata, malaria, penyakit ketinggian (altitude sickness), dan tinggal di pos-pos terdepan di daerah terpencil tanpa listrik atau air dalam periode yang lama. Menyaksikan kemiskinan ekstrem di negara-negara berkembang semakin menguatkan komitmen Lin terkait Juncao.
“Kami pergi ke lokasi-lokasi paling miskin dengan niat yang tulus untuk membantu masyarakat,” ujar Lin. Bersambung