WARTABUANA – Sejumlah pejabat senior China dan Amerika Serikat (AS) dijadwalkan memulai dialog strategis tingkat tinggi selama dua hari di kota terbesar Bagaimana Membuat Dialog China-AS di Alaska Efektif?, pada Kamis (18/3).
Sejarah baru-baru ini menunjukkan bahwa ketika kedua negara terlibat dalam komunikasi yang efektif, hubungan mereka dapat bergerak maju dengan lancar dan kerja sama dapat membuahkan hasil.
Pertemuan tersebut menandai pembicaraan tatap muka pertama antara pejabat tingkat tinggi kedua belah pihak setelah pemerintahan baru AS mulai menjabat. Pertemuan ini juga digelar menyusul percakapan telepon pertama antara Presiden China Xi Jinping dan mitra setaranya dari AS, Joe Biden, setelah pemimpin AS itu mulai menjabat pada Januari lalu.
Demi kesehatan dan stabilitas jangka panjang dari apa yang dianggap oleh banyak pihak sebagai hubungan bilateral paling penting di dunia, kedua pihak harus memanfaatkan momen di Anchorage dan membuat dialog tersebut menjadi komunikasi yang efektif.
Pertama, kedua pihak perlu menunjukkan iktikad yang baik. Kemajuan hanya mungkin terjadi jika China dan AS sama-sama memiliki kesediaan untuk terlibat dalam dialog yang konstruktif.
Sayangnya, AS, bersama beberapa sekutu regionalnya, membuat kegaduhan di kawasan Asia-Pasifik menjelang perundingan tersebut.
Washington perlu menyadari bahwa membentuk kelompok kecil yang menarget China hanya akan memperdalam ketidakpercayaan antara kedua negara, memperburuk permasalahan yang telah ada saat ini dalam hubungan China-AS, dan menimbulkan keraguan terhadap ketulusan AS untuk terlibat dengan Beijing.
Kedua, China dan AS harus memperlakukan satu sama lain sebagai pihak yang setara. Tidak ada satu pun negara yang berhak mendominasi urusan global, mengontrol nasib negara lain, atau menyimpan keuntungan dari pembangunan untuk diri sendiri.
China telah menjelaskan bahwa pihaknya akan menyatakan posisi dan kekhawatirannya secara langsung dengan pihak AS dalam dialog tersebut. Jika ada masalah yang ingin diselesaikan Washington dengan Beijing, masalah itu dapat dibicarakan secara langsung dalam pertemuan tersebut. Aksi-aksi kecil di luar ruang pertemuan tidak produktif dan tidak perlu.
Lebih lanjut, kedua pihak harus saling menghormati dan mengelola dengan baik perbedaan yang melekat dalam sistem politik dan jalur pembangunan yang dipilih masing-masing negara.
Ketiga, kedua negara harus belajar untuk mengakomodasi kepentingan inti satu sama lain. Beijing telah sangat memperjelas bahwa mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan kedaulatan, integritas teritorial, dan persatuan nasional China, tidak ada ruang untuk kompromi.
Para pendukung kebijakan agresif terhadap China di Washington berulang kali menantang batas yang digariskan Beijing dan sengaja mencampuri urusan dalam negeri China selama empat tahun terakhir. Hasilnya sangat merusak. Kedua negara kini menghadapi periode paling sulit dalam hubungan bilateral sejak keduanya menormalisasi hubungan diplomatik.
Jika pihak AS yakin bahwa pada akhirnya China akan membuat konsesi atas kepentingan intinya pada dialog tersebut, hal itu jelas tidak akan terjadi.
Secara geografis, Anchorage terletak kira-kira di tengah-tengah antara Beijing dan Washington. Memang, saling bertemu di tengah adalah apa yang dibutuhkan kedua negara setelah empat tahun hubungan bilateral yang memburuk.
Lima puluh tahun yang lalu, para pemimpin China dan AS menunjukkan kecerdasan politik mereka dengan memanfaatkan diplomasi ping pong dan memecahkan kebekuan dalam hubungan bilateral dengan mengatasi kesulitan dan perpecahan yang tampaknya tak terbayangkan.
Untuk mengembalikan hubungan China-AS ke jalurnya, dialog Anchorage harus menjadi awal yang baru. Kedua pihak perlu menunjukkan kebijaksanaan politik dan keberanian yang luar biasa guna memastikan dialog tersebut dapat menggerakkan keterlibatan yang produktif dan efektif di masa mendatang antara China dan AS pascapertemuan di Alaska ini. [penulis Xinhua Shi Xiaomeng]