LHASA – Samten, yang berusia 70-an tahun, setiap hari setelah matahari terbenam berjalan-jalan di hutan terdekat yang dipenuhi pohon buckthorn laut.
Penduduk setempat memberinya panggilan kesayangan “nenek buckthorn laut” dan memang tepat, karena dia mengabdikan bertahun-tahun hidupnya untuk merawat hutan yang mengelilingi Desa Mangtso di Daerah Otonom Tibet, China barat daya.
Setengah abad lalu, desa itu dilanda badai pasir parah yang menghadirkan mimpi buruk bagi penduduk desa. Ketika musim hujan berakhir dan Sungai Luntse di daerah tersebut berangsur mengering, pasir yang terlihat di dasar sungai terbang terbawa angin kencang, menerpa desa tersebut.
Orang-orang biasa melontarkan ucapan sarkastis kepada penduduk wilayah Luntse, wilayah yang membawahi Mangtso, dengan mengatakan “begitu Anda berbicara, pasir akan berguguran dari tubuh Anda.”
Terletak di dataran tinggi Tibet yang dingin dan tandus, Luntse berada pada ketinggian rata-rata lebih dari 3.800 meter, dan hampir tidak ada pohon biasa yang dapat bertahan hidup dalam kondisi yang keras itu. Menurut penduduk setempat, menanam pohon lebih sulit daripada membesarkan anak.
Namun, uji coba penanaman berskala besar yang dilakukan oleh pemerintah setempat membantu mengubah takdir lahan itu untuk selamanya. Selama proses penanaman, hanya pohon buckthorn laut yang mampu tumbuh berakar di tanah alkali dan bertahan hidup, membawa secercah harapan bagi lingkungan setempat.
Sejak 1960-an, penduduk Luntse mulai melawan kondisi yang sulit itu dengan pohon buckthorn laut, menandai bergulirnya “revolusi ekologi”.
Samten masih berusia 17 tahun kala itu. Ditugaskan menyirami bibit, dia selalu menjadi orang terakhir yang pulang ke rumah karena khawatir ada pohon yang terlewat. Dia bahkan mengatakan melihat pohon-pohon itu dalam mimpinya.
Secara bertahap, seluruh warga di wilayah tersebut diberdayakan untuk menemukan bibit dan memanfaatkan tanah kosong yang tertutup kerikil.
Selama lima dekade terakhir, dengan upaya dari para pejabat dan penduduk setempat dari generasi ke generasi di Luntse, sebuah “penghalang hijau” yang membentang lebih dari 40 km dan meliputi area seluas 50 km persegi telah terbangun. Penghalang hijau ini dianggap sebagai hutan buckthorn laut buatan terbesar di dunia yang pernah ditanam.
Luntse telah menunjukkan peningkatan lingkungan ekologis yang signifikan. Vegetasi hutan berangsur berkembang, dan kini ada tempat untuk menggembalakan sapi dan domba. Curah hujan juga meningkat, yang semakin meningkatkan kualitas udara daerah itu, sementara salinitas tanah telah menurun, sehingga menggenjot produksi jelai dataran tinggi.
Lebih dari 2.000 orang telah menjadi jagawana, dan peningkatan lingkungan memungkinkan berkembangnya pertanian dan peternakan modern, kata pejabat setempat.
Pada 2020, total pendapatan wilayah Luntse dari penjualan bibit dan buah buckthorn laut mencapai hampir 3 juta yuan (1 yuan = Rp2.247).
“Ini cucu-cucu saya,” kata Samten saat berjalan-jalan di hutan, sembari membelai batang-batang pohon buckthorn laut yang kokoh. [Xinhua]