WASHINGTON – Para pakar menampik sejumlah keraguan terkait efikasi vaksin COVID-19 buatan China, meyakini bahwa vaksin-vaksin itu membantu dalam menurunkan jumlah kasus parah dan kematian, seperti dilaporkan CNN.
Di negara-negara seperti Mongolia, Seychelles, dan Chile, yang masing-masing telah menginokulasi penuh lebih dari 50 persen populasi mereka, sebagian besar menggunakan vaksin COVID-19 buatan China, jumlah kasus masih melonjak, tetapi bukan berarti vaksin China merupakan sebuah kegagalan, kata kantor berita itu pada Sabtu (3/7).
“Tidak ada vaksin yang memberikan perlindungan 100 persen terhadap COVID-19, jadi kasus-kasus terobosan telah diperkirakan,” ungkap para pakar, seperti dilansir CNN.
“Metrik penting dalam mengukur keberhasilan adalah mencegah kematian dan rawat inap, bukan menyasar pada nol kasus COVID-19,” lanjut CNN.
China memiliki dua vaksin yang telah mengantongi izin penggunaan darurat dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni Sinopharm dan Sinovac. Keduanya menggunakan virus nonaktif untuk memicu respons imun pada pasien, sebuah metode vaksin yang telah dicoba dan teruji.
“Jika kita ingin menurunkan jumlah kasus parah (dan) kematian, vaksin Sinopharm dan Sinovac dapat membantu,” tutur Jin Dongyan, profesor virologi molekuler di Universitas Hong Kong, seperti dikutip CNN.
“Kita tidak boleh membeda-bedakan vaksin COVID-19, dengan menyebut vaksin ini buruk sementara lainnya baik. Semua vaksin yang tersedia mengurangi risiko kemunculan penyakit parah,” ujar Enkhsaihan Lkhagvasuren, Kepala Penerapan Kebijakan Kesehatan Masyarakat di Kementerian Kesehatan Mongolia, seperti dilansir oleh media yang sama.
Saat negara-negara Barat menimbun pasokan untuk masyarakat mereka sendiri, China telah mengirimkan vaksin ke luar negeri. Pada Juni, Kementerian Luar Negeri China mengumumkan bahwa negara itu telah mengirim lebih dari 350 juta dosis vaksin COVID-19 ke 80 lebih negara, imbuh CNN. [Xinhua]