WASHINGTON – Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP) akan mempercepat integrasi ekonomi yang sedang berlangsung di kawasan Asia-Pasifik, ujar seorang pejabat Dana Moneter Internasional (IMF).
“Produksi, terutama di sisi manufaktur, sudah semakin terintegrasi di seluruh negara di kawasan tersebut … Anda bisa perkirakan ini akan terus berlanjut,” ujar Helge Berger, kepala misi China dan asisten direktur di Departemen Asia dan Pasifik IMF, dalam wawancara dengan Xinhua baru-baru ini.
“Menurut saya, faktor yang akan mempercepat perkembangan ini ke depannya adalah kesepakatan perdagangan regional yang belum lama ini disepakati, yaitu RCEP,” katanya.
Berger menilai RCEP akan mempermudah pengaturan produksi di seluruh kawasan, serta memudahkan perusahaan dan rumah tangga untuk membeli barang dari luar perbatasan.
RCEP, yang ditandatangani pada November 2020, melibatkan 10 anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) beserta China, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru.
Menurut pejabat IMF tersebut, China, sebagai salah satu perekonomian terbesar di dunia, berperan besar dalam pemulihan Asia dan pemulihan global. Bukan hanya karena kontribusinya dalam pertumbuhan global, tetapi juga karena limpahan pertumbuhannya.
“Jadi jika Anda bertanya apa saja kontribusi China dalam pertumbuhan 10 tahun terakhir atau lebih, jawabannya hampir sepertiga dari pertumbuhan yang dialami dunia berasal dari China,” ungkap Berger. Dia menambahkan bahwa angkanya turun tipis dalam beberapa tahun terakhir, seiring laju pertumbuhan perekonomian lain yang juga semakin cepat.
“Fakta bahwa China tumbuh dengan pesat berarti impornya pun ikut meningkat. Jadi Anda akan melihat bahwa para pengekspor komoditas, khususnya, misalnya pengekspor minyak, akan diuntungkan oleh permintaan China,” kata Berger.
“Selain itu, ada pula permintaan barang setengah jadi dan barang-barang konsumsi,” tambahnya.
Berger menilai pertumbuhan di perekonomian besar seperti China akan turut memberikan dampak positif bagi perekonomian-perekonomian lainnya.
“Negara-negara Asia adalah yang paling diuntungkan dari pertumbuhan China,” ujarnya.
Ekonomi Asia diperkirakan tumbuh 7,6 persen tahun ini, menurut proyeksi terbaru IMF, yang menyoroti risiko penurunan seperti kemunduran dalam peluncuran vaksinasi, pertanyaan seputar keefektifan vaksin terhadap varian baru, lonjakan kembali wabah, dan perubahan lingkungan eksternal.
Jika menengok ke belakang, Berger mengatakan para pembuat kebijakan di China telah bertindak tegas sejak awal untuk membendung COVID-19, menerapkan banyak langkah demi mengurangi dampak krisis tersebut pada perekonomian, dan kemudian beralih ke dukungan ekonomi makro untuk menggenjot pemulihan tahun lalu.
Tiga langkah China mulai dari mengendalikan wabah, memitigasi dampak, hingga mendukung pertumbuhan adalah sesuatu yang terbukti menjadi resep keberhasilan, katanya. “Itu pelajaran penting.”
Kendati demikian, sang pejabat IMF menekankan bahwa krisis belum usai, dan vaksinasi masih menjadi tugas yang penting bagi China maupun negara-negara lain di seluruh dunia.
“Kita melihat laju vaksinasi di China kini semakin cepat,” ujar Berger. “Namun ini masih bisa ditingkatkan dan mungkin memang perlu dipercepat guna membawa perubahan dan membantu pemulihan, terutama di sisi konsumsi.”
Menurut perkiraan IMF, peluncuran vaksin yang lebih cepat akan meningkatkan output global sebesar 9 triliun dolar AS (1 dolar AS = Rp14.507) antara periode saat ini hingga tahun 2025.
Berger berpendapat China, sebagaimana perekonomian besar lainnya, yang memiliki kapasitas produksi vaksin dalam jumlah besar, berbagi tanggung jawab yang sama untuk membantu mempercepat kemajuan upaya vaksinasi global.
“Kita hanya dapat mendukung upaya China di arah ini dan menyambut mereka seiring kita mendukung dan menyambut inisiatif-inisiatif dengan negara lain, dalam mendukung kampanye vaksinasi global,” ucap Berger.
Untuk China, pertumbuhan diproyeksikan naik menjadi 8,4 persen tahun ini karena meningkatnya prospek ekspor, mencerminkan penguatan permintaan untuk barang-barang terkait pandemi dan pemulihan yang lebih kuat di perekonomian-perekonomian maju, termasuk Amerika Serikat, kata Berger.
Sementara itu, dia menyebut ada beberapa faktor yang bergerak ke arah sebaliknya, di antaranya konsumsi swasta yang masih relatif lemah, dan kebijakan fiskal juga masih sedikit kurang kuat dibandingkan ekspektasi sebelumnya.
“Saya pikir tantangan utama tahun ini bagi China adalah memastikan pemulihan berjalan secara seimbang,” imbuh Berger.
Di bawah asumsi dasar IMF, konsumsi swasta di China meningkat perlahan sepanjang tahun ini. “Tetapi kita perlu memastikan hal ini benar-benar terjadi, baik sebagai implikasi kebijakan jangka pendek maupun jangka panjang,” imbuhnya.
Berger mendesak para pembuat kebijakan China untuk mengubah komposisi dukungan fiskal dari yang berfokus pada investasi menjadi lebih fokus pada membantu unit rumah tangga.
“Anda bisa melakukannya, misalnya dengan berinvestasi di jaring pengaman sosial, membuatnya lebih komprehensif, membuatnya lebih kuat, memberi orang kepastian bahwa mereka tidak harus menabung secara pribadi untuk masa-masa sukar,” ujar Berger, seraya menambahkan bahwa langkah tersebut tidak hanya berguna untuk jangka pendek, tetapi juga jangka panjang.
“Jadi sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan ekonomi di China terus mendukung pemulihan,” katanya, seraya memperingatkan risiko “keluar terlalu dini” dari dukungan ekonomi makro.
Menyebut target China untuk menjadi negara yang maju secara moderat pada 2035, pejabat IMF itu mengatakan bagian penting dari hal ini adalah memastikan pertumbuhan berasal dari lebih banyak sumber pertumbuhan domestik ketimbang sumber eksternal. [Xinhua]