WARTABUANA – Menjelang 1 Juni, alih-alih menantikan liburan dengan antusias, warga AS justru sedang waswas menunggu apakah ramalan para politisi tentang gagal bayar utang AS bakal menjadi kenyataan.
Pada 19 Januari tahun ini, utang pemerintah federal Amerika Serikat (AS) sudah mencapai angka 31,4 triliun dolar AS (1 dolar AS = Rp14.757), yang merupakan plafon utang legal. Kongres AS telah menggunakan jumlah maksimum utang yang diizinkan untuk dipinjam guna memenuhi pembayaran obligasinya.
Hal ini membuat Departemen Keuangan AS tidak punya pilihan lain selain mengambil langkah-langkah nonkonvensional demi menyediakan dana untuk aktivitas pemerintahan dan menghindari risiko gagal bayar utang. Meski demikian, setelah berjuang selama lebih dari tiga bulan terakhir untuk memenuhi kewajiban utangnya, situasi tak kunjung membaik.
Menteri Keuangan AS Janet Yellen berada di posisi dimana permintaan dana datang dari segala arah. Pada 1 Mei, Yellen menyampaikan “prediksi” kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS Kevin McCarthy bahwa pemerintah federal AS dapat mencapai batas utangnya dan terancam gagal bayar utang paling cepat pada 1 Juni.
Kantor Anggaran Kongres (Congressional Budget Office) AS juga mengeluarkan peringatan bahwa pemerintah AS kemungkinan akan menghadapi masalah kekurangan dana mulai awal Juni akibat pendapatan pajak yang lebih rendah dari ekspektasi, sedangkan pengeluaran terus meningkat.
Sebuah laporan yang dirilis oleh Komite Penasihat Ekonomi Gedung Putih pada 3 Mei bahkan secara terang-terangan menyatakan bahwa kegagalan dalam membayar kewajiban utang (default) jangka pendek dapat berujung pada hilangnya 500.000 pekerjaan, kenaikan 0,3 persen pada tingkat pengangguran, dan penurunan produk domestik bruto (PDB) tahunan sebesar 0,6 persen.
Jika kegagalan ini terus berlanjut untuk seluruh kuartal fiskal, maka pasar saham terancam anjlok hingga 45 persen, PDB turun hingga 6,1 persen, dan tingkat pengangguran naik 5 poin persentase, yang berarti 8,3 juta orang di AS akan kehilangan pekerjaan.
Terlepas dari situasinya, perekonomian akan menanggung pukulan serius, jika plafon utang terus diterobos.
Fakta bahwa bank-bank AS mengalami pukulan bertubi-tubi memicu kepanikan yang luar biasa. Kini, setelah dilewatinya garis merah gagal bayar utang, awal dari “kiamat” bagi banyak orang pun mulai terlihat. Krisis yang disebabkan oleh inflasi AS, lonjakan suku bunga, dan utang ini tampaknya memburuk dengan cepat.
Sayangnya, di tengah situasi kritis seperti ini, kedua kubu dalam parlemen AS masih terus berseteru.
Pada 26 April, setelah negosiasi yang alot, Ketua DPR AS McCarthy akhirnya mengesahkan RUU plafon utang atau “Undang-Undang Pembatasan, Penghematan, dan Pertumbuhan”, dengan suara mayoritas tipis yang memimpin hanya dengan selisih dua suara di DPR AS.
RUU ini mengusulkan untuk menangguhkan batas utang sebesar 31,4 triliun dolar hingga 31 Maret tahun depan. Jika kedua belah pihak sepakat menaikkan batas utang sebesar 1,5 triliun dolar lagi sebelum tenggat waktu tersebut, maka tenggat waktu itu akan dihapus.
Pada saat yang sama, dana yang tidak terpakai untuk menangani pandemi COVID-19 harus diambil kembali; anggaran untuk Internal Revenue Service (IRS) AS akan dipangkas; kebijakan keringanan pinjaman mahasiswa Biden akan dibatalkan; dan langkah-langkah pengurangan pajak terkait energi baru dalam “Undang-Undang Pengurangan Inflasi” akan dibatalkan.
Partai Republik mengklaim rencana ini dapat memangkas pengeluaran pemerintah sebesar 4,5 triliun dolar selama sepuluh tahun ke depan.
Meski kenaikan batas utang telah disepakati, tetapi sejumlah syarat yang terlampir menunjukkan bahwa Partai Republik menargetkan banyak kebijakan yang diusung oleh Presiden Joe Biden, termasuk kebijakan ekonomi, masyarakat, dan penghidupan rakyat. RUU ini tidak hanya diprediksi bakal gagal disahkan, tetapi juga menuai banyak kritik.
Pemimpin Mayoritas Senat Schumer menyebutnya sebagai “agenda sayap kanan ekstremis” dan menyindir RUU tersebut dengan sebutan “Undang-Undang Gagal Bayar Utang Amerika”. Gedung Putih mengkritiknya sebagai “upaya sembrono untuk mendapatkan konsesi ekstrem,” dan sekretaris pers Karina Jean-Pierre mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa presiden menegaskan bahwa RUU tersebut tidak akan pernah disahkan menjadi undang-undang.
Sementara itu, pemimpin mayoritas Senat dari Partai Demokrat Chuck Schumer secara terang-terangan menyebut RUU plafon utang dari kubu Republik itu akan langsung gugur saat tiba di meja Senat.
Biden sebelumnya telah mengungkapkan bahwa dirinya tidak akan membiarkan Partai Republik “menyandera” negara dalam isu penaikan batas utang.
Partai Demokrat menuntut agar Partai Republik menaikkan batas utang tanpa syarat apa pun. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat (AS) McCarthy mengatakan jika pengeluaran tidak dipangkas, kubu Republik tidak akan setuju untuk menaikkan batas utang.
Partai Demokrat dan Partai Republik tidak dapat menemukan kata sepakat, dan semakin mereka berdebat, situasi semakin memanas. McCarthy menuding Biden menyebabkan utang AS gagal bayar, dan Biden mengejek McCarthy karena berpolitik dengan krisis utang.
Perdebatan batas utang AS tampaknya telah mendarah daging dalam DNA negara tersebut, dan butuh waktu lama bagi AS untuk berjuang acap kali mendekati kegagalan dalam membayar utang.
Mengenai masalah menaikkan batas utang, AS telah berseteru selama lebih dari 100 tahun.
AS berpartisipasi dalam Perang Dunia I, yang menyebabkan defisit anggaran melonjak, dan AS berupaya membatasi besaran utangnya. Usulan awal untuk menetapkan batas penerbitan utang pemerintah adalah untuk mencegah pemerintah AS menerbitkan utang secara berlebihan dan mengalihkan utang tersebut ke pemerintah selanjutnya.
Namun, siapa sangka bahwa “batas” ini tidak memiliki “batas”?
Pada 1917, batas utang AS tercatat berada di angka 13,5 miliar dolar AS (1 dolar AS = Rp14.757)
Per hari ini, batas utang AS telah melonjak menjadi 31,4 triliun dolar AS, yang telah naik lebih dari 2.000 kali!
Tidak hanya kenaikannya yang mengejutkan, frekuensi peningkatan batas utang tersebut pun terus bertambah.
Namun, sejak Kongres AS dan pemerintah mencapai kesepakatan pada 1917, pemerintah AS melanggar batas utang lebih dari 110 kali.
Dari 1997 hingga 2022, batas utang pemerintah federal telah dinaikkan sebanyak 22 kali.
Ini setara dengan menaikkan batas utang hampir setiap tahun.
Dengan adanya risiko gagal bayar utang yang membayangi, kubu partai dan pemerintah mulai berjuang dengan menaikkan batas utang, kemudian babak risiko gagal bayar utang lainnya pun dimulai.
Meski perseteruan antara partai Demokrat dan Republik cukup buruk, Biden masih berusaha menyelamatkan kepercayaan dunia pada Amerika Serikat, tetapi dia tidak menyangka akan terjadi peristiwa memalukan.
Pada 3 Mei, Biden mencuit di akun Twitter-nya bahwa Amerika Serikat bukanlah negara yang mengingkari kata-katanya dan tidak pernah gagal membayar utangnya. Dia juga menggunakan kesempatan itu untuk menyerang Partai Republik.
Kendati demikian, dia tidak menyangka akan dibantah oleh sejumlah cuitan terkait di Twitter. Cuitan-cuitan tersebut menunjukkan bahwa AS beberapa kali gagal membayar utangnya di masa lalu.
Warganet menggali beberapa kejadian kasus gagal bayar utang AS, termasuk ketidakmampuan Federal Utara (Northen Federal) membayar utang mereka sesuai dengan ketentuan obligasi yang disepakati pada 1986, ketidakmampuan pemerintahan Roosevelt untuk membayar utang Perang Dunia I pada 1933, penghentian penerbitan “sertifikat dolar perak” untuk ditukar dengan koin perak atau emas batangan pada 1968, dan keputusan sepihak pemerintahan Nixon untuk memisahkan dolar dari emas pada 1971, serta penolakan untuk memenuhi komitmennya terhadap investor asing yang memegang dolar AS. Dalam waktu kurang dari empat puluh tahun, setidaknya ada empat kejadian gagal bayar utang yang terjadi.
Bahkan warga Amerika sendiri tidak tahan akan hal itu dan mengejek Biden: “Jangan sia-siakan uang pajak kami untuk angan-anganmu.”
Kita tidak tahu seberapa indah angan-angan Amerika, tetapi jika kedua partai terus berseteru soal plafon utang, berusaha memaksimalkan keuntungan mereka sendiri dan tidak mau mengalah, mereka pada akhirnya akan kalah.
Pada 3 Mei, Ketua Federal Reserve (The Fed) Powell menyatakan bahwa jika plafon utang tidak dinaikkan, The Fed tidak dapat melindungi ekonomi AS dari bahaya, dan pemerintah tidak boleh berada dalam posisi di mana pihaknya tidak dapat membayar semua tagihannya. Kebuntuan plafon utang antara partai Republik dan Demokrat merupakan masalah antara Kongres dan pemerintahan Biden.
Saat ini, Biden telah mengundang empat pemimpin partai Demokrat dan Republik, baik di DPR maupun di Senat, termasuk Ketua DPR McCarthy, ke Gedung Putih pada 9 Mei untuk bernegosiasi. Hasil negosiasi belum diketahui. Namun, dengan semakin dekatnya tenggat waktu, waktu yang tersisa untuk AS semakin menipis. []