JAKARTA – Memasuki tahun kedua pembatasan mobilitas, baik yang diwajibkan pemerintah maupun yang dilakukan atas dasar inisiatif pribadi, masyarakat Indonesia kini semakin bergantung pada belanja daring (online).
Didorong perdagangan elektronik atau e-commerce, logistik menjadi elemen penting di seluruh nusantara untuk menjaga kegiatan operasional selama era normal baru.
Meski demikian, masalah rendahnya efisiensi yang lama diderita industri logistik Indonesia membuat transformasi sangat dibutuhkan.
LEDAKAN PAKET E-COMMERCE
Ignatia Heidi (28), seorang staf pemasaran di sebuah bank swasta di Jakarta, baru-baru ini membeli hampir semua kebutuhan sehari-harinya secara daring, terutama setelah diterapkannya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM sejak 3 Juli.
Diwajibkan bekerja dari rumah hampir sepanjang pekan, Heidi juga mengurangi aktivitas di luar ruangan untuk meminimalkan risiko tertular penyakit COVID-19.
“Saya tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan hidup di rumah tanpa memesan barang secara daring sekali atau dua kali dalam sepekan. Saya membeli semuanya secara daring sekarang, mulai dari makanan, vitamin, hingga deterjen dan sampo,” ucapnya.
Seperti halnya Heidi, banyak penduduk di Pulau Jawa, yang merupakan rumah bagi hampir 60 persen populasi Indonesia, ramai-ramai beralih ke platform belanja e-commerce. Saat ini, kurir yang masuk dan keluar kompleks apartemen selama penerapan PPKM menjadi pemandangan yang lebih sering terlihat dibandingkan warga lingkungan itu sendiri.
Mahendra Riyanto, Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), mengatakan kepada Xinhua baru-baru ini bahwa jumlah pesanan logistik untuk barang-barang e-commerce di dalam negeri telah meningkat 30 hingga 40 persen selama pandemi.
“Pandemi telah membawa bonus perkembangan e-commerce dalam lima tahun ke depan,” kata Jonathan Zhong, CEO J&T Cargo Indonesia.
INOVASI YANG SANGAT DIBUTUHKAN
Indonesia menduduki peringkat pertama di Asia sebagai negara dengan biaya logistik termahal, yang menguras hampir seperempat Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Ini berbeda dengan perekonomian maju yang jumlahnya hanya di bawah 5 persen.
Ledakan e-commerce selama pandemi semakin mengekspos tantangan yang ada di sektor logistik, seperti buruknya infrastruktur, informasi yang terfragmentasi, dan kurangnya penerapan teknologi, kata Eric Dharma, Wakil Presiden Pengembangan Korporat Waresix, startup platform truk logistik dan pergudangan di Indonesia.
“Kontrak biasanya ditulis tangan dan komunikasi dilakukan melalui saluran ad hoc seperti WhatsApp. Untuk beberapa perusahaan logistik, seluruh proses penerimaan pesanan, pencarian pengemudi, truk, dan gudang terlalu manual untuk disederhanakan,” katanya.
“Karena biaya pengiriman yang mahal, tidak umum bagi orang Indonesia untuk membeli peralatan elektronik yang relatif (berukuran) lebih besar seperti kulkas, AC, dan mesin cuci secara daring,” kata Zhong. “Beberapa peretail harus mengambil risiko persediaan yang besar karena khawatir tidak dapat mengisi kembali stok kapan pun dibutuhkan.”
Menurut studi tahun lalu yang dilakukan salah satu platform e-commerce terkemuka di Indonesia, Lazada, 65 persen responden dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang belum terdigitalisasi menyatakan bahwa logistik merupakan salah satu tantangan terbesar mereka.
Sistem logistik di pulau-pulau lain bahkan lebih tidak efisien dibandingkan Pulau Jawa, yang berujung pada disparitas harga.
“Harga untuk barang yang sama di berbagai wilayah di Indonesia bisa sangat berbeda,” kata Budi Handoko, COO sekaligus salah satu pendiri aggregator logistik Shipper. Misalnya saja produk mi instan di Papua, provinsi paling timur Indonesia, akan jauh lebih mahal ketimbang di ibu kota.
Di sinilah manajemen logistik digital dapat turun tangan dan meluruskan, terutama untuk negara dengan geografi yang terfragmentasi seperti Indonesia, kata Handoko.
Permintaan sistem logistik dengan efisiensi biaya yang lebih tinggi terbilang cukup kuat. Seperti halnya Handoko, banyak pula yang menyadari bahwa digitalisasi merupakan solusinya.
“Hikmahnya adalah pandemi telah mempercepat dorongan digital di industri logistik,” kata Riyanto.
INFRASTRUKTUR DIGITAL
Para pemain muda dan pintar di industri ini telah mempertahankan momentum pertumbuhan yang cepat selama pandemi dengan mengoptimalkan alokasi sumber daya mereka.
Platform digital seperti Kargo, Ritase, Shipper, dan Waresix berperan sebagai agregator yang menawarkan solusi logistik end-to-end di mana truk, pengemudi, dan gudang diseleksi oleh sistem agar sesuai dengan kebutuhan pengirim.
“Kami memiliki lebih dari 50.000 truk dan lebih dari 400 gudang di seluruh negeri dalam jaringan kami. Sistem ini juga membantu memaksimalkan utilitas mereka,” kata Dharma.
Sebagai perusahaan logistik pihak ketiga, J&T Express memiliki tim teknologi informasi (TI) yang terdiri dari 1.500 orang lebih untuk terus memperbarui teknologi yang digunakan selama operasinya. Bagi Zhong, tim TI sangat menentukan dalam meningkatkan efisiensi.
April lalu, J&T Express meluncurkan layanan tercepatnya yang diberi nama “J&T Super”. Layanan ini memungkinkan paket akan sampai pada hari yang sama untuk pengiriman dalam kota atau dalam waktu kurang dari dua hari untuk pengiriman antarkota.
Sementara itu, platform e-commerce terkemuka di Indonesia seperti Shopee dan Lazada menyediakan solusi pengiriman in-house dalam beberapa tahun terakhir untuk mempercepat distribusi last-mile (pengiriman tanpa campur tangan pihak ketiga) dari hub transit ke pelanggan.
Guna memangkas biaya logistik, pemerintah Indonesia membentuk Ekosistem Logistik Nasional pada September tahun lalu, yang berfungsi sebagai platform untuk mencatat, menyederhanakan, dan pada akhirnya mempercepat proses perpindahan barang dari pelabuhan ke gudang yang semula berbasis kertas.
Sebuah proyek percontohan di bawah sistem baru ini diluncurkan di Batam, Kepulauan Riau, pada Maret lalu, dan sistem digital serupa rencananya akan diaplikasikan di tujuh pelabuhan lain tahun ini, menurut pemerintah. Pihak pelabuhan akan membantu mengurangi biaya pengiriman, distribusi, dan biaya terkait lainnya hingga 17 persen dari PDB hingga tahun 2024.
“Semakin banyak shipper (pengirim) yang menyambut solusi digital untuk logistik mereka,” kata Dharma dari Waresix. “Alih-alih reaksi spontan untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek, kami berharap dapat melihat lebih banyak inovasi terobosan di industri ini.” [Xinhua]