BEIJING, China telah meningkatkan produksi energi dan menekan lonjakan harga guna mengamankan pasokan energi yang cukup untuk pabrik-pabrik serta mendukung perekonomian, meredam kekhawatiran soal stagflasi.
Harga energi secara global melonjak sejak awal tahun ini di tengah menipisnya pasokan. Di China, tekanan di sektor energi menyebabkan pemadaman listrik pada September, yang berdampak pada warga di wilayah tertentu serta memaksa sejumlah pabrik berhenti berproduksi.
“China telah berupaya menggenjot produksi batu bara dan membuat harga batu bara kembali ke kisaran yang masuk akal,” tutur Meng Wei, juru bicara Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional China, dalam konferensi pers rutin pada Selasa (16/11).
OUTPUTLEBIH TINGGI, HARGA LEBIH RENDAH
Outputbatu bara China tumbuh 4 persen dari setahun sebelumnya (year on year/yoy) ke angka 360 juta ton pada Oktober, dan produksi batu bara mempertahankan pertumbuhan yang stabil pada bulan ini, tunjuk data dari Biro Statistik Nasional (National Bureau of Statistics/NBS) China.
Persediaan batu bara di produsen listrik China kembali pulih, dengan pembangkit listrik di seluruh negeri melaporkan total 129 juta ton batu bara di inventaris mereka pada 14 November, cukup untuk konsumsi 22 hari. Angka tersebut sembilan hari lebih banyak daripada level akhir September lalu.
Kenaikan outputbatu bara dan inventaris di pembangkit-pembangkit listrik membantu menurunkan harga baru bara yang sempat melonjak, dengan kontrak berjangka (futures) batu bara di Bursa Komoditas Zhengzhou anjlok hampir 60 persen dari puncaknya dalam kurun sebulan.
Selain batu bara, China juga meningkatkan produksi gas alam demi memastikan pasokan yang memadai. Sejak 7 November, pasokan gas alam harian di China mencapai lebih dari 1 miliar meter kubik, sekitar 100 juta meter kubik lebih tinggi daripada periode yang sama tahun lalu.
“Perusahaan gas harus meningkatkan produksi guna menaikkan pasokan domestik,” tutur Meng.
MEREDAM KEKHAWATIRAN SOAL STAGFLASI
Lonjakan harga komoditas sempat memicu kekhawatiran soal stagflasi, sebuah fenomena ekonomi di mana harga-harga naik namun aktivitas bisnis stagnan, di perekonomian terbesar kedua di dunia itu. Stagflasi mengakibatkan tingkat pengangguran yang tinggi dan penurunan daya beli konsumen. Harga energi yang sempat melonjak meningkatkan biaya produksi bagi perusahaan dan memperburuk kekhawatiran soal stagflasi.
Tampaknya terdapat beberapa tanda stagflasi akibat pandemi, bencana alam, lonjakan harga komoditas internasional, serta pengetatan pasokan bahan mentah. Ini “disebabkan oleh faktor-faktor jangka pendek, dan situasi tersebut akan bersifat sementara,” ujar juru bicara NBS Fu Linghui.
Perekonomian China mempertahankan pemulihan yang kuat, menurut data NBS pada Senin (15/11), dengan penjualan retail dan outputpabrik melampaui ekspektasi serta tingkat pengangguran tetap rendah pada Oktober.
Outputindustri bernilai tambah meningkat 3,5 persen (yoy) pada Oktober, dibandingkan 3,1 persen pada September. Penjualan retail barang konsumen naik 4,9 persen (yoy) bulan lalu, atau 0,5 poin persentase lebih tinggi dari sebulan sebelumnya. Tingkat pengangguran perkotaan yang disurvei berada di angka 4,9 persen pada Oktober, atau 0,4 poin persentase lebih rendah daripada periode yang sama tahun lalu.
Analis UBS Wang Tao sependapat dengan Fu, mencoret risiko stagflasi, sebagian karena masalah kelangkaan energi telah mereda.
“Kami memperkirakan indeks harga produsen akan menurun tahun depan karena kelangkaan energi telah teratasi, dan indeks harga konsumen sepanjang tahun akan tercatat di angka 2 persen, sehingga kecil kemungkinan negara (China) akan mengalami stagflasi,” kata Wang. [Xinhua]