PROBOLINGG, WB – Demi bisa masak nasi, Busrin menebang pohon mangrove untuk kayu bakar. Namun, upaya menghidupi keluarganya itu berbuntut hukuman 2 tahun dan denda Rp 2 miliar. Kisah tragis pria berusia 48 tahun ini menjadi potret buramnya penegakan hukum di tanah air.
Busrin ditangkap anggota polisi dari Polair Polres Probolinggo, Bambang Budiantoni dan Avan Riado di hutan Mangrove di kampungnya di Desa Pesisir, Kecamatan Sumberasih, pada 16 Juli 2014 lalu.
Proses hukum berlanjut ke pengadilan. Majelis hakim memutuskan Busrin terbukti menyalahi Pasal 35 hurf e, f, dan g dalam UU No. 27 tahun 2007. Dalam pasal ini diatur soal larangan merusak ekosistem mangrove, termasuk menebang mangrove di kawasan konservasi. Hukumannya tertuang dalam pasal 73 yang berbunyi:
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 2 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar setiap orang yang dengan sengaja menggunakan cara dan metode yang merusak ekosistem mangrove, melakukan konversi ekosistem mangrove, menebang mangrove untuk kegiatan industri dan permukiman, dan/atau kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e, huruf f, dan huruf g.”
Menurut Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Slamet Daroyni, majelis hakim hanya melihat permasalahan secara sepotong tanpa memandang secara holistik. Faktanya, kebanyakan warga di sana memang mencari kayu bakar dari pohon mangrove akibat masalah kemiskinan.
“Tidak adil! Tidak ada rasa keadilan di sini. Hakim hanya melihat sepotong kisah yaitu ada laporan, ada yang menebang lalu dihukum. Padahal mereka korban dari kebijakan. Akibat himpitan ekonomi, mereka dengan sangat terpaksa mencari kayu bakar supaya bisa hidup, daripada mati berdiri. Mereka adalah korban dari tindakan struktural pemerintah,” ujar Slamet.
Masih menurut Slamet, kerusakan lingkungan lebih banyak disebabkan proyek reklamasi pantai dan alih fungsi hutan mangrove. Selama ini telah terjadi pengambilalihan fungsi hutan yang dilegalkan pemerintah.
Contohnya reklamasi, yang membuat pencemaran lingkungan dan terbatasnya area melaut. Ada pula fungsi hutan yang disulap menjadi lahan kelapa sawit yang berakibat ikan susah didapat. Banyak penduduk pesisir akhir menjadi pemulung, tenaga serabutan, bahkan pengangguran.
Busrin yang hanya buruh pencari pasir tinggal di rumah sangat sederhana. Sehari-hari keluarga Busrin menggunakan kayu bakar untuk memasak kebutuhan sehari-hari. Tumpukan kayu bakar dibiarkan di samping tungku batu bata yang disusun tidak teratur.
Setelah suaminya ditangkap dan dipenjara, otomatis beban hidup keluarga tertumpu pada Susilowati, istrinya yang sama-sama tidak tamat SD dan buta huruf, palagi mengerti soal hukum.
“Saya minta supaya suami saya dikeluarkan karena dia menjadi tulang punggung keluarga. Saya banyak utang di toko untuk membeli kebutuhan pokok,” ungkap Susilowati sedih. []