WARTABUANA – Selama ratusan tahun, suku Anga di Papua Nugini memiliki tradisi mumifikasi yang sangat mengerikan, bahkan lebih mengerikan dibanding mumi Mesir.
Mayat-mayat di suku Anga ini dimumifikasi dengan cara dibakar. Setelah dibakar, mayat-mayat ini tidak dikubur atau disimpan di dalam peti, melainkan dipajang di sisi tebing, sehingga seluruh penduduk akan merasa `ditontonin` oleh ribuan mayat yang bertengger siang malam.
Membayangkan pemandangan mayat-mayat berwarna merah akibat pembakaran dan `menatap` sepanjang hari memang sangat mengerikan. Namun ternyata bagi suku Anga, tradisi ini justru dianggap sebagai penghormatan tertinggi bagi mereka yang sudah meninggal.
Proses mumifikasi tradisi Anga ini tidak dilakukan dengan mudah. Awalnya, bagian lengan, lutut, dan kaki mayat akan dibelah, kemudian seluruh lemak tubuh dikeluarkan. Setelah itu, dengan menggunakan bambu runcing, organ-organ mayat dikeluarkan. Tetesan darah mayat dioleskan ke bagian rambut dan kulit sebagai ritual penghormatan terakhir.
Tahap berikutnya, mata, mulut, dan anus mayat dijahit unruk mencegah masuknya udara ke dalam tubuh yang dapat mempercepat pembusukan daging. Teknik inilah yang dipercaya menjadi kunci mumi suku Anga bisa bertahan hingga ribuan tahun.
Setelah prosesi pembersihan tubuh selesai, sisa tubuh mayat kemudian dibakar. Setelah pembakaran selesai, mumi tersebut dilapisi dengan tanah liat dan oker merah. Oker inilah yang memberikan warna mengerikan dari tubuh mumi ini.
Saat perayaan atau event tertentu bagi suku Anga, mumi-mumi merah ini akan dibawa turun dari tebing untuk sementara waktu. Setelah acara selesai, penduduk akan bergotong royong membawa mumi tersebut kembali ke tempatnya tanpa ada rasa ngeri sama sekali.
Orang yang dianggap sebagai tentara Anga biasa dipajang di tempat spesial diantara mumi rakyat biasa. Mereka dipercaya tetap berperan sebagai pelindung walaupun sudah tidak bernyawa. []